Lihat ke Halaman Asli

MURDANI

petani pendidikan

SULINGJAR: Dari Survei ke Sertifikat, Lalu Ke Sertifikat Palsu?

Diperbarui: 21 September 2025   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

SULINGJAR: Dari Survei ke Sertifikat, Lalu ke 'Sertifikat Palsu'? Sebuah Komedi Absurd Dunia Pendidikan

Saudara-saudari sebangsa dan setanah air, para pahlawan tanpa tanda jasa di medan perang data, dan para penggila "bukti fisik" di segala lini kehidupan! Izinkan saya memperkenalkan sebuah mahakarya birokrasi digital yang kini telah menjadi legenda, sebuah epik siber yang membuat jempol kita keriting dan otak kita berasap: Survei Lingkungan Belajar (SULINGJAR)!

Bukan sekadar survei biasa, SULINGJAR ini adalah manifestasi paling agung dari komitmen pemerintah kita untuk mendengar, memahami, dan, tentu saja, mengumpulkan data sebanyak mungkin. Dari ketersediaan sabun di toilet guru sampai kedalaman filosofis metode pembelajaran yang diterapkan, semua ditanya! Kita para guru, kepala sekolah, bahkan pengawas, seperti detektif ulung yang harus menganalisis setiap sudut sekolah, setiap desiran angin di koridor, demi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kadang terasa lebih mendalam dari ujian skripsi.

Konon, hasil SULINGJAR ini akan menjadi pondasi kokoh untuk memajukan pendidikan nasional, mengubah sekolah gubuk reot jadi ala Hogwarts, dan menyulap murid-murid jadi genius multi-talenta. Kita semua semangat mengisi, meskipun kadang sambil ngantuk dan berpikir, "Ini pertanyaan beneran atau cuma buat ngetes kesabaran saya?"

Tapi, namanya juga hidup di negeri penuh kejutan, apalagi yang berbau digital dan birokrasi, pasti ada saja 'bonus' tak terduga. Setelah berjibaku dengan kuesioner panjang, mata berair di depan laptop, dan otak berasap memikirkan jawaban yang paling 'ideal', munculah kabar gembira: Ada sertifikat SULINGJAR! Wow! Sebuah 'bukti fisik' yang sah bahwa Anda adalah warga negara yang patuh, guru yang taat data, dan digital native yang handal! Sertifikat ini lantas jadi buruan, karena konon bisa menambah poin di aplikasi kinerja, bisa dipamerkan di grup WhatsApp, atau sekadar jadi pengingat bahwa Anda pernah menaklukkan raksasa bernama SULINGJAR.

Nah, di sinilah drama sesungguhnya dimulai, seperti adegan plot twist di film horor komedi. Di tengah euforia pencarian sertifikat ini, muncullah sesosok makhluk astral yang tak kasat mata, alias oknum tidak bertanggung jawab. Mereka ini, para ninja keyboard dengan koneksi internet yang luar biasa cepat, melihat celah emas di tengah kebingungan massal. Mereka tahu kita semua butuh 'bukti', butuh 'legalitas', dan sedikit kebanggaan.

Maka, hadirlah sebuah link misterius, bagai oasis di gurun pasir data, yang menjanjikan sertifikat SULINGJAR nan berkilau: https://sertifikat.snp.my.id/sulingjar/.

"Aha! Ini dia!" teriak para pencari sertifikat, sambil auto-klik tanpa pikir panjang. Mata berbinar, jari menari di atas mouse, seolah baru menemukan harta karun Captain Jack Sparrow. Mereka pun bangga mengunduh, mencetak, bahkan membingkai sertifikat dari link keramat itu.

Padahal, para hadirin sekalian, link asli yang sah dari Kemdikbud itu alamatnya jelas dan terang benderang seperti lampu mercusuar di tengah badai, yaitu: https://surveilingkunganbelajar.kemdikbud.go.id/ Ya, betul sekali! Beda jauh seperti bumi dan langit, atau antara nasi padang asli dengan nasi padang abal-abal pakai rendang buatan pabrik.

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari episode sertifikat palsu SULINGJAR ini? Pertama, betapa tingginya "nilai jual" sebuah sertifikat di negara kita. Apapun aktivitasnya, harus ada kertasnya, harus ada 'bukti otentik'nya, seolah keberadaan kita di dunia ini pun harus disahkan oleh selembar piagam. Kedua, betapa mudahnya kita terjebak dalam jebakan Batman digital. Sedikit embel-embel "sertifikat" atau "resmi", langsung auto-klik, lupa cek alamat domain, lupa cek keaslian sumber. Ini bukan soal kurang pintar, tapi lebih ke arah prinsip ekonomi syariah, ada yang gratisan, mengapa tidak? Apalagi kalau menjanjikan 'bukti'!

Kisah SULINGJAR dan sertifikat palsunya ini adalah cerminan ironis dari obsesi kita terhadap formalitas dan 'bukti fisik' di atas substansi. Kita sibuk mengisi survei panjang lebar, berharap perubahan fundamental. Tapi begitu ada embel-embel sertifikat, fokus kita langsung bergeser. Oknum-oknum tak bertanggung jawab itu tahu betul kelemahan kita, kita lebih suka jalan pintas, kita lebih percaya pada kertas daripada esensi, dan kita sangat haus pengakuan, bahkan jika pengakuan itu datang dari alamat domain yang mencurigakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline