Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lulus SD kok Belum Lancar Membaca?

25 September 2025   11:31 Diperbarui: 24 September 2025   20:38 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa Belajar di Sekolah (sumber dokumen Pribadi)

Beberapa tahun lalu saya punya murid bernama Fikri. Anak ini pintar, tapi tiap kali saya kasih PR matematika, wajahnya langsung muram. Suatu sore saya lihat dia duduk di perpustakaan sendirian, wajahnya pucat. Saya tanya, “Kenapa, Rik?” Dia jawab lirih, “Pak, PR semua guru numpuk… saya baru tidur lewat tengah malam.”

Jujur, saya langsung kaget. Saya kira PR itu membantu, ternyata justru bikin anak kelelahan. Dari situ saya mulai mikir: apa PR masih relevan? Atau jangan-jangan selama ini kita cuma meneruskan tradisi tanpa sadar efeknya?

Kalau baca penelitian pendidikan, banyak yang bilang PR bukan faktor utama bikin anak sukses akademik. Yang lebih penting justru kualitas belajar di kelas, keterlibatan siswa, dan dukungan keluarga. Malah ada riset yang bilang PR kebanyakan bisa bikin anak stres, kehilangan motivasi, bahkan akhirnya sekadar copas jawaban dari Google atau dari temannya.

Dan memang kenyataannya begitu. Banyak siswa mengerjakan PR bukan untuk belajar, tapi biar nggak dimarahi guru. Kalau cuma begitu, apa gunanya? Apalagi di era digital—tinggal ketik soal di internet, jawaban langsung keluar.

Akhirnya saya coba eksperimen kecil. Waktu itu materi persentase. Alih-alih kasih 20 soal di buku latihan, saya minta anak-anak mencatat pengeluaran harian di rumah, lalu hitung persentasenya. Ternyata mereka jauh lebih semangat. Ada yang sampai diskusi sama orang tuanya, bahkan ada yang cerita, “Pak, saya baru tahu uang jajan saya lebih besar daripada biaya listrik harian rumah.”

Di kesempatan lain, waktu bahas statistika, saya minta mereka wawancara tetangga soal penggunaan internet. Dari data itu, mereka bikin tabel dan grafik sederhana. Mereka bukan cuma belajar matematika, tapi juga belajar ngobrol sopan dengan orang lain. Menurut saya, itu nilai tambah yang nggak ada di lembar PR biasa.

Saya tidak bilang PR harus dihapus total. Tapi PR yang cuma menambah beban—ya, itu sebaiknya dipikir ulang. Anak-anak sekarang sudah cukup sibuk dengan sekolah, kursus, dan kegiatan lain. Kalau masih ditambah PR numpuk tanpa makna, yang ada malah capek.

Buat saya, PR tetap boleh ada, tapi harus bermakna. Bukan soal berapa banyak halaman yang selesai, melainkan pengalaman apa yang mereka dapat. Bisa berupa proyek kecil, refleksi sederhana, atau sekadar mengamati lingkungan. Sesuatu yang bikin anak merasa “belajar itu nyambung dengan hidupku.”

Beberapa waktu lalu saya bertemu lagi dengan Fikri. Ia sudah lulus. Dengan senyum, ia bilang, “Pak, saya masih ingat waktu disuruh hitung pengeluaran rumah. Ternyata berguna banget, apalagi pas bantu orang tua jualan.”

Saya terdiam. Dalam hati saya sadar, yang membekas bukan PR halaman penuh soal, melainkan tugas kecil yang relevan dengan hidupnya.

Jadi, pertanyaannya bukan lagi “PR perlu atau tidak,” tapi “PR kita bermakna atau hanya formalitas?” Kalau sekadar menambah lelah, lebih baik kita ubah. Karena tugas guru bukan memberi beban, melainkan menyalakan rasa ingin tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun