Lihat ke Halaman Asli

Muna Khansa Mufidah

Content Writer Instagram, Penulis buku 100 Nama 101 Cerita

Dari Laut Bercerita ke Jalanan: Suara Luka yang Masih Menggema

Diperbarui: 5 September 2025   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Aksi Demonstrasi untuk Menyuarakan Hak-Hak Berpendapat. Sumber: iStock

Huru-hara yang terjadi selama di penghujung era Orde Baru melahirkan beragam kritik sosial dari ranah kemanusiaan dan kekuasaan di mana persoalan tersebut menyebabkan masyarakat mempertanyakan standar moral yang berlaku saat itu. Setelah mengamati ketimpangan di masyarakat, kritik sosial berupa sindiran, persepsi, respon atau bahkan unek-unek masyarakat diarahkan pada hak demokrasi mereka yang sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar.

Pada masa kepemimpinan Jenderal Soeharto, suara rakyat amat dibatasi oleh sistem politik yang mengontrol ketat terhadap informasi. Oleh sebab itu, jenis aspirasi yang dapat diutarakan adalah seperti dukungan terhadap stabilitas dan pembangunan, itu pun hanya dapat disampaikan secara tidak langsung melalui perantara tokoh, organisasi atau gerakan mahasiswa yang akhirnya berujung tuntutan reformasi pada fase akhir kekuasaan Soeharto.

Aspirasi yang Tak Kunjung Diindahkan

Fenomena yang telah diuraikan di atas sangat berbeda jauh dengan di zaman canggih serba AI ini. Sekarang ini media sosial menjadi wadah yang diperuntukkan bagi segala luapan aspirasi, kritik sosial hingga unek-unek masyarakat yang sudah jenuh dengan beraneka macam kebijakan pemerintah yang tidak dapat menjamin kesejahteraan hidup rakyatnya. Pada buku novel Laut Bercerita (2017) karangan Leila S. Chudori, pembaca akan diajak untuk merasakan suasana dramatis di masa tragedi kelabu pada tahun 1998. Dari buku novel tersebut, kita akan mengetahui sejumlah 6 kritik sosial yang digaungkan oleh rakyat kepada pemerintah yang berkuasa saat itu. Enam kritik sosial yang disampaikan meliputi:

1. Pihak berwajib (misal: pemerintah) dan penguasa tidak mampu melindungi rakyat keciL

2. Masyarakat yang malas berbenah diri

3. Penindasan untuk mendapatkan informasi.

4. Penyelewengan ideologi dan hegemoni pemerintahan.

5. Pergerakan radikalisme mahasiswa.

6. Tindakan sewenang-wenang terhadap petani.

Keadilan hukum bagi rakyat kecil seperti petani dan buruh di era Orde Baru tampak kian dipersulit dan diperketat, sebab gelombang pemikiran kiri yang dikhawatirkan pemerintah akan dapat timbul lagi. Kala itu, Indonesia kehilangan demokrasinya sebagai negara republik yang menjunjung tinggi hak-hak berpendapat. Rakyat kecil harusnya tidak ditakut-takuti oleh kekuatan pemangku kepentingan. Sebaliknya, tugas mereka adalah melindungi rakyat. Rakyat kecil harus menanggung beban hidup dalam bayang-bayang ketakutan karena pemerintah yang diktator dan otoriter hanya menguntungkan kelas menengah ke atas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline