Lihat ke Halaman Asli

Muh Khamdan

TERVERIFIKASI

Researcher / Analis Kebijakan Publik

Hari Harimau Global ke-15: Menyelamatkan Macan Tutul Jawa di Hutan Muria

Diperbarui: 30 Juli 2025   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi macan tutul Jawa di pegunungan Muria (Sumber: betahita.id)

Tepat lima belas tahun lalu, tiga belas negara pemilik habitat harimau menandatangani Deklarasi St. Petersburg, tonggak penting yang menandai kesadaran global akan nasib spesies harimau yang kian terancam punah. Sejak itu, 29 Juli diperingati sebagai Hari Harimau Global (Global Tiger Day), seruan bersama untuk menyelamatkan kucing besar terakhir di dunia. Namun kenyataannya, harimau tidak hanya belum sepenuhnya terselamatkan, populasinya bahkan menurun drastis hingga 40 persen dalam satu dekade terakhir.

Di masa lampau, Asia memiliki lebih dari 100.000 individu harimau berkeliaran bebas. Kini, jumlah tersebut menyusut menjadi kurang dari 3.500 ekor, dengan sebagian besar berada di kawasan konservasi yang rapuh, terfragmentasi, dan seringkali tidak dijaga secara optimal. Penurunan ini menjadi cerminan bahwa upaya konservasi belum berbanding lurus dengan tantangan di lapangan.

Di Indonesia, kita mengenal harimau Jawa yang telah dinyatakan punah sejak 1980-an. Namun, warisan ekologisnya belum sepenuhnya lenyap. Di lereng-lereng Gunung Muria yang membentang di antara Kabupaten Jepara, Kudus, dan Pati, satu predator puncak masih bertahan dalam senyap, yaitu macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Dialah harimau Muria kita hari ini, pewaris ekosistem yang terancam senyap dalam bayang-bayang pembalakan dan perambahan.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah mencatat, setidaknya tersisa 14 individu macan tutul yang tersebar di sisi utara, timur, dan barat Gunung Muria yang menjulang setinggi 5.253 kaki. Mereka tersembunyi di balik rimba yang menyusut, berjuang dalam diam di tengah ruang hidup yang terus terdesak oleh aktivitas manusia.

Ketika predator puncak terakhir kita menghilang, bukan hanya harimau yang punah, melainkan juga harapan, keseimbangan, dan nyawa dari hutan-hutan tropis yang menopang kehidupan kita. 

Harimau Jawa dan macan tutul memang berbeda secara fisik. Harimau Jawa bercorak loreng, satunya berbintik tutul. Namun keduanya memiliki peran ekologis serupa untuk menjaga keseimbangan rantai makanan sebagai predator puncak. Hilangnya mereka bukan sekadar kehilangan satu spesies, tapi juga hancurnya satu sistem ekologi hutan tropis yang rumit.

Sayangnya, kamera jebak atau camera trap yang digunakan untuk memantau aktivitas macan tutul di Muria sudah tidak lagi representatif. Banyak di antaranya rusak, terbatas jumlahnya karena hanya sekitar delapan unit, sehingga tersebar tanpa dukungan teknis memadai. Kondisi ini membuat pemantauan populasi menjadi bias, dan sangat mungkin jumlah sebenarnya lebih sedikit dari yang terdata.

Tragedi ekologis Gunung Muria sesungguhnya telah berlangsung sejak dekade 1990-an. Transisi politik nasional dari Orde Baru ke Reformasi ternyata menyisakan luka ekologis yang mendalam. Dalam periode 1990 hingga 2006, Gunung Muria kehilangan 85,5 persen hutan alaminya. Pembalakan liar dan perambahan untuk pertanian serta perkebunan menjadi penyebab utama degradasi ini.

Macan tutul yang tersisa kini hidup dalam kantong-kantong habitat sempit, terputus, dan rentan terhadap perburuan. Mereka juga kian kerap masuk ke permukiman warga, bukan karena liar, tetapi karena lapar dan kehilangan sumber makanan alami. Ini menjadi alarm keras bahwa ekosistem Muria telah kehilangan keseimbangannya.

Perlindungan macan tutul di Muria tak bisa hanya bergantung pada konservasi berbasis dokumentasi, tetapi harus menyentuh akar masalah, yaitu restorasi hutan alam dan moratorium perambahan kawasan lindung. Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam program pelestarian, tidak hanya sebagai penonton, tetapi pelaku konservasi berbasis kearifan lokal.

Menyelamatkan macan tutul Muria adalah menyelamatkan warisan alam Jawa. Jika kita abai hari ini, anak cucu kita hanya akan mengenal mereka dari dongeng dan lukisan dinding museum. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline