Pagi ini telah menandakan musim penghujan yang ke-17. Sepanjang jalanan di Kota Tangerang, sejauh mata memandang, jalanan terlihat licin karena becek dan air yang tergenang — tanda bahwa hujan masih saja turun, meskipun tidak terlalu deras. Terlihat para mahasiswa berbondong-bondong menuju kampus dengan memakai jas hujan yang melekat di tubuh mereka. Mereka berangkat dengan berbagai cara untuk menuju kampus; ada yang naik ojek online, mengendarai motor sendiri, atau sekedar "nebeng" bareng teman. Mereka menempuh perjalanan dengan durasi yang beragam; ada yang sudah pergi saat fajar dan bahkan menempuh perjalanan saat mentari belum terbit demi bisa tiba di kampus tepat waktu. Ada pula yang hanya butuh 15 menit saja—iya, itu aku sendiri. Dan biasanya, setiba di kampus, aku menyempatkan diri mampir ke warkop untuk membeli sarapan sekaligus bertemu teman-teman yang sekelas denganku. Setelah itu, kami berbincang soal materi kuliah, atau sekadar bercakap-cakap ringan sebelum jam masuk tiba. Itu cara kami menjaga silaturahmi, agar pertemanan tetap terjalin dan tidak terputus.
Kebetulan hari itu kelas kami sedang melaksanakan UTS untuk beberapa mata kuliah—salah satunya UTS matkul Shorof yang diampu oleh Pak Husni. Aku masih ingat betul materi-materi yang diujikan, diantaranya: wazan-wazan tashrif istilahi, mulai dari bab 1 sampai 6 untuk tsulatsi mujarrod, serta tiga bab pertama dari tsulatsi mazid satu huruf. Setelah sarapan, kami melanjutkan langkah menuju basecamp—yang lokasinya sering berpindah-pindah—untuk muroja'ah materi Shorof bersama. Teman teman yang tidak ikut ke basecamp pun tetap bisa mendapat hasil perbincangan dari sesi muroja'ah tersebut lewat grup aplikasi pesan.
Pembahasan materi ujian sebenarnya tidak berlangsung lama, tapi cukup efektif untuk muroja'ah dalam waktu kurang dari satu jam. Di sela-sela diskusi, salah satu dari kami—Apiz—sempat menyampaikan satu materi tambahan yang hampir terlupa dibagikan di grup: kaidah sederhana bahwa, “ketika fi'il mazid ruba'i berwazan لعفي لعفأ dan diakhiri dengan alif, maka mashdar gairu mim-nya akan berawalan dan berakhiran hamzah.” Itu adalah funfact baru yang belum pernah dipelajari di kelas. Pada akhirnya teman-teman menilai bahwa dia adalah sosok yang rendah hati, tidak pernah bersikap tinggi hati saat mentransfer ilmu. Tapi ya, begitulah kami berteman: meskipun masing-masing punya kelebihan, tak satu pun dari kami besar kepala. Seolah ada peraturan tak tertulis di kelas kami—bahwa kesombongan tidak punya tempat, baik saat mengajar maupun saat belajar.
Dari pagi ke siang, hingga akhirnya malam menyapa. Hey, lihatlah! Malam ini kami melepas penat bersama setelah seharian menjalani UTS. Kami berkumpul, berbincang santai, membakar sate, dan yang terakhir bermain permainan "truth or dare". Permainan ini lumayan mengasyikkan dan kami menikmati kebersamaan ini semua sepanjang malam. Beberapa teman tampak malu menjalankan pilihan mereka —baik itu truth atau dare.
Inilah permainan sederhana yang dinamakan, "truth or dare", yang bisa dimainkan oleh siapapun, tanpa batas jumlah. Jadi, permainannya tuh begini: Pertama, botol diletakkan di tengah lingkaran, lalu diputar. Kedua, pas ujung botolnya nunjuk ke salah satu pemain, orang itu harus memilih antara truth atau dare. Dan ketiga kalau si pemain ini memilih "dare", lalu tantangan tersebut diberi oleh pemain lain ke dia—tantangannya bisa berupa apa saja, tergantung seiseng/seakrab apa temennya itu. Anehnya, justru banyak yang suka bagian ini, soalnya mereka tuh suka dengan tantangan. Ya bagus juga sih, jadi kami bebas ngerjain mereka dengan tantangan yang anti mainstream.
Kembali ke masa sekarang. Sebenarnya dari cerita awal sampai akhir aku sedang membayangkan, merenungkan dan mengenang beberapa kejadian minggu yang lalu—sambil seruput kopi dan duduk di bangku depan teras rumah sedang kondisi sekarang malam hari. Dan hmm… dari cerita terakhir tadi, tiba-tiba ada hal ganjil yang kepikiran—tentang permainan truth or dare. Coba deh kita pikirkan sebentar.
Permainan ini kelihatannya memberi kita kebebasan memilih, kan? Tapi… apa iya itu benar benar bebas? Memang, kita diberi dua opsi: truth atau dare. Tapi setelah memilih, tetap saja orang lain yang menentukan isi pertanyaannya, atau tantangannya. Eh, maksudku… aneh juga ya kalau dipikir pikir? Tapi ya sudahlah, ini cuma renungan malam biasa. Cukup aku saja yang pusing mikir beginian. Tak lama kemudian, aku berdiri dari tempat duduk, masuk ke rumah, dan bersiap tidur.
"Hoaaammm... argh, udah ah. Mau tidur aja. Cukup renungannya malam ini. Lagian udah malam juga—dan besok hari Senin. Fyuhhh..."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI