Lihat ke Halaman Asli

Muara Alatas Marbun

Alumni U Pe' I

Pekerja Lansia, antara Ageisme dan Eksistensi Mereka

Diperbarui: 14 Mei 2020   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Asantha Abeysooriya (unsplash.com/beNiTTa8Pp8)

Untuk Satgas COVID-19 yang tengah bekerja, pekerja lansia punya dua hal yang serupa dengan pekerja usia produktif: Mereka manusia yang hidup dan mereka butuh bekerja agar dapat uang.

Ketika saya ketik tulisan yang berkaitan tentang izin Satgas COVID-19 mengenai dibolehkannya pekerja usia produktif untuk bekerja, yang ditambah dengan anjuran untuk lansia yang masih bekerja untuk tetap melanjutkan kegiatan #dirumahaja membuat saya sedikit protes. 

Di lubuk hati yang terdalam, saya meyakini ekonomi rakyat akhirnya bisa bergerak, namun ada yang tidak disadari oleh Satgas COVID-19. Sebagian besar dari pekerja kita adalah pekerja 'padat karya', dimana mereka harus benar-benar bekerja untuk dapat uang. Ngga' kerja ngga' dapat uang.

Berbeda dengan orang yang sudah dijamin pemerintah seperti pejabat resmi dan aparat. Gaji pokok tersedia tiap bulan tak peduli seberapa maksimal mereka bekerja, belum THR atau bonus yang diterima bilamana melaporkan hasil pekerjaan yang optimal.

Pekerja lansia tidak seluruhnya bekerja untuk pabrik yang menyediakan gaji dan uang pesangon --bila di-PHK, ada yang bekerja untuk keluarga, ada yang dibantu buruh usia produktif, bahkan ada yang menjadi pengusaha dan freelancer

Menurut Pusparisa (pada katadata.co.id, 2019) pada tahun 2018, pekerja lansia berjumlah sekitar 12,19 juta jiwa. Paling banyak bekerja dengan status "berusaha dibantu buruh", yang dalam pengertian singkat bisa dikatakan "lansia yang memiliki asisten".

Meskipun begitu, perilaku pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk ageisme terhadap sebagian para lansia yang tergolong masih mandiri dan beban hidupnya tidak ditanggung langsung oleh negara. 

Ageisme sendiri adalah pandangan yang akhirnya menjadi bentuk diskriminasi terhadap individu berdasarkan usia (remotivi, 2019). Pandangan inilah yang perlu diminimalisir dalam pemberitaan di media atau anggapan dari berbagai lembaga negara terhadap lansia yang masih bekerja.

Kehadiran pekerja lansia nyatanya tetap dibutuhkan karena dua hal, masih kompeten dan urgensi lansia pada kebutuhan ekonomi. Data dari AHRI (Organisasi di Australia) menunjukkan bahwa hampir 60% penduduk Australia yang menjadi responden cenderung mempercayai lansia dalam pekerjaanya, pernyataan "kepercayaan" ini didukung dengan pernyataan satu perusahaan jamu dan farmasi di Indonesia (Kontan.co.id, 2019). 

Memenuhi untuk kebutuhan ekonomi menjadi faktor utama dari lansia untuk terus bekerja --meski secara usia dalam ilmu ekonomi makro sudah tidak dianggap produktif- karena dianggap menjadi perkara yang penting jika bisa mendedikasikan diri untuk bekerja (Waskito, 2015).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline