Malam itu, seperti biasa, setelah menulis beberapa bagian dari laporan, saya pun lanjutkan dengan menonton video ceramah seorang ustaz yang sangat dikenal saat ini, Ustaz Abdul Somad. Dalam ceramah kali ini, beliau mengadakan safari ke Sumatera Barat.
Dalam mukadimah-nya, ustaz cerdas nan tegas ini menyebutkan bahwa Sumatera Barat adalah negeri para ulama. Sejak dulu, daerah ini banyak melahirkan ulama-ulama terkenal, bahkan sampai tingkat internasional, sebut saja Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka).
Nama Buya Hamka sepertinya sangat membekas di hati Ustaz Abdul Somad. Bahkan sang Ustaz sampai menyebutkan jika nanti dia dimasukkan ke surga, maka yang ingin ditemuinya adalah Rasulullah dan Buya Hamka. Pernyataan Ustaz yang selalu berpenampilan sederhana ini bukanlah tanpa alasan. Selain memiliki kepakaran di bidang hadist, dia juga memiliki bekal pengetahuan mengenai sejarah Islam yang sangat mumpuni. Tentu dia sudah memiliki kriteria tertentu sehingga menempatkan Buya Hamka sebagai salah satu ulama yang dia kagumi.
Secara pribadi, saya sudah lama pula mendengar nama Buya Hamka, bahkan semasa kecil pernah juga mendengarkan rekaman ceramah Buya. Tetapi belum sampai pada tahap untuk mengenal lebih jauh. Yang saya ketahui, Buya Hamka terkenal dengan keahliannya dalam menulis dan berorasi. Karya tulisannya amat banyak dan beragam, namun sejauh ini hanya roman Di Bawah Lindungan Kabah yang pernah saya baca.
Berbekal rasa penasaran yang dibangkitkan oleh Ustaz Abdul Somad terhadap sosok Buya Hamka, maka saya pun mencari-cari karya-karya Buya Hamka, dan saya pun mendapat salah satu buku yang berjudul Tasawuf Modern. Buku ini juga pernah Ustaz Abdul Somad singgung dalam beberapa ceramahnya, karena berisi nasehat yang baik untuk kehidupan.
Buku Tasawuf Modern ini diterbitkan oleh Republika, dan sudah mengalami cetakan ke VII pada Agustus 2017. Menandakan bahwa buku ini sangat diminati. Buku setebal 377 halaman ini dibagi menjadi 13 bab. Dalam pengantarnya, Buya Hamka menyebutkan bahwa buku ini secara khusus membahas tentang "bahagia", mulai disusun pada pertengahan tahun 1937.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Buya Hamka selama 2 tahun di majalah Pedoman Masyarakat, majalah yang juga dipimpin oleh Buya Hamka. Perihal penamaan Tasawuf modern, merupakan nama rubrik yang ada di majalah tersebut. Menurut Buya Hamka, Tasawuf Modern itu adalah keterangan Ilmu Tasawuf yang dipermodern.
Dalam pengantar selanjutnya, penyusun buku ini menceritakan mengenai keterkaitan kisah "Tasawuf Modern" dengan pengarangnya, yaitu Buya Hamka. Sang penyusun buku mengangkat dua alur cerita yang menggembirakan sekaligus menyedihkan. Penyusun menceritakan bagaimana Buya Hamka dilahirkan dari keluarga ulama (Haji Rasul). Pada usia 16 tahun Buya Hamka diangkat menjadi Datuk, yang menurut adat gelar pusaka yaitu Datuk Indomo.
Penyusun juga menceritakan bagaimana perkembangan Buya Hamka dari kecil sampai dewasa. Perjuangannya menegakkan masyarakat bangsa, dari segi agama, dari segi karang-mengarang, dari segi pergerakan Islam, Muhammadiyah, dan lain-lain. Pada tahun 1959, Universitas Al Azhar memberi gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa) kepada Buya Hamka, karena dianggap sebagai salah seorang Ulama Terbesar di Indonesia.
Namun, karena situasi politik pada saat itu, pada hari Senin tanggal 12 Ramadan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964, kira-kira pukul 11 siang, Buya Hamka dijemput dari rumahnya, ditangkap, dan ditahan. Diadakan pemeriksaan yang tidak henti, siang-malam, pagi-petang selama 15 hari 15 malam. Di sanalah mereka (para pemeriksa) mengucapkan kata-kata yang sangat berat buat Buya Hamka, dan membuatnya marah "Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!" Bisa kita bayangkan, Buya yang sejak kecil selalu diajarkan ucapan kasih dan mengajarkan kebaikan mengalami tuduhan yang sangat menyakitkan, siapa yang tidak sedih, siapa yang tidak marah.
Tubuh Buya Hamka pun bergetar menahan amarah. Tetapi beliau menyadari, bahwa kemarahan tidak bisa menyelesaikan masalah, malah semakin memperburuk. Akhirnya beliau menangis sambil meratap "Janganlah saya disiksa seperti itu. Bikinkan sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya, akan saya tanda tangani. Tetapi kata-kata demikianlah janganlah saudara ulang lagi!" Sampai sebegitu Buya memohon.