Lihat ke Halaman Asli

Misri Gozan

TERVERIFIKASI

Guru Besar Teknik Kimia - UI, Ketua BATAP LAM TEKNIK-IABEE Persatuan Insinyur Indonesia

Tanpa Teknisi, Mimpi Industrialisasi hanya Ilusi

Diperbarui: 16 Mei 2025   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia memiliki lebih dari 4.500 perguruan tinggi dan hampir 36.000 program studi, menempatkan kita sebagai negara dengan jumlah kampus terbanyak kedua di dunia setelah India. Namun di balik statistik yang mengesankan itu, timbul pertanyaan besar: apakah kita tengah membangun pusat ilmu pengetahuan, atau sekadar pabrik ijazah? Banyak lulusan perguruan tinggi mengalami kesulitan mencari pekerjaan, sementara negara-negara maju justru fokus memperkuat pendidikan vokasi ketimbang terus menambah kampus akademik.

Pendidikan vokasi bukanlah pilihan kelas dua, melainkan jalur cepat menuju kemajuan industri. Negara-negara maju telah lama menunjukkan bahwa pendidikan vokasi, baik di tingkat menengah maupun tinggi, berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Meskipun era kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan “dark factory”,  pabrik otomatis tanpa pekerja manusia, pendidikan vokasi tetap relevan. Fokusnya harus diarahkan pada keterampilan yang tak mudah digantikan mesin: kreativitas, penyelesaian masalah, dan manajemen sistem. Vokasi harus naik kelas, mencetak teknisi yang menguasai mesin, bukan yang digantikan mesin.

Perbandingan Proporsi Peserta Pendidikan Vokasi di Berbagai Negara

Jerman—lebih dari 60 persen siswa menengahnya memilih jalur vokasi. Mereka tak berhenti di sana. Setelah lulus, mereka dapat melanjutkan ke universitas terapan seperti Fachhochschule, yang fokus pada keahlian praktis dan terhubung erat dengan dunia industri.

Belanda memiliki struktur serupa. Sekitar 65 persen siswa tingkat menengah menempuh pendidikan vokasi melalui sistem MBO, lalu melanjutkan ke HBO (Higher Professional Education), yang dirancang untuk menghasilkan profesional siap pakai. Di dua negara ini, pendidikan vokasi tidak dianggap kelas dua—ia justru menjadi pilihan utama bagi banyak anak muda.

Berbeda dengan Jepang, yang memiliki tingkat partisipasi vokasi menengah hanya sekitar 11 persen dan vokasi tinggi sekitar 8–12 persen. Meski proporsinya kecil, efektivitasnya tinggi. Kampus vokasi di Jepang sengaja dibangun dekat dengan kawasan industri, memungkinkan riset bersama, magang intensif, dan kolaborasi teknologi yang konkret. Jepang menunjukkan bahwa kualitas koneksi dengan industri kadang lebih penting dari kuantitas semata.

Sementara itu, Korea Selatan memfokuskan perhatian pada jenjang tinggi. Meski hanya 18–25 persen siswa menengahnya mengambil jalur vokasi, mereka memperkuat pendidikan tinggi vokasi lewat Junior Colleges dan kemitraan langsung dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Samsung dan Hyundai. Di Korea, vokasi menjadi pintu masuk menuju teknologi dan inovasi.

Australia mengambil pendekatan menyeluruh. Mereka memiliki sistem TAFE (Technical and Further Education) dan VET (Vocational Education and Training) yang menyatu dari tingkat sekolah hingga universitas. Sekitar 45 persen siswa menengah dan 50 persen mahasiswa Australia berada di jalur vokasi. Tidak hanya kampus, tetapi juga sektor swasta aktif memberikan pelatihan dan sertifikasi.

Cina juga menarik untuk disorot. Meski proporsi vokasi menengahnya sekitar 35–40 persen dan vokasi tingginya hampir 47 persen, negara ini sangat efektif dalam menghasilkan pekerja terampil. Rahasianya? Integrasi kuat antara kurikulum dan kebutuhan industri, program pelatihan praktis sejak awal, serta peningkatan status sosial lulusan vokasi secara sistematis. Di Cina, industri bukan hanya pengguna, tapi juga pembentuk sistem pendidikan.

Rusia mencatat proporsi tertinggi: sekitar 50 persen siswa menengah dan 55 persen mahasiswa menempuh jalur vokasi. Sistem Tekhnikum dan Kolledzh mereka sudah mapan sejak era Soviet dan masih menjadi jalur utama menuju dunia kerja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline