Pengantar
Hening di ruang sidang itu pecah oleh helaan napas seorang dosen penguji. Jarinya menunjuk tumpukan kertas di hadapan mahasiswa yang tertunduk.
"Riset Anda sebenarnya menarik, tapi cara Anda menuliskannya kacau. Argumentasinya melompat-lompat, bahasanya tidak efektif. Ini belum bisa disebut karya ilmiah."
Pemandangan ini, dengan berbagai variasinya, adalah sebuah drama yang dipentaskan berulang kali saat sidang meja hijau oleh mahasiswa di pendidikan tinggi. Ia menjadi penanda sebuah masalah menahun yang seolah tak kunjung usai. Lantas, sebuah pertanyaan pun tak terhindarkan lagi, sering kali bergaung di benak kita semua: Menulis skripsi salah, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab?
Mudah sekali menunjuk hidung. Entah itu mahasiswa yang dianggap kurang berusaha, atau dosen pembimbing yang dinilai lalai. Namun, setelah bertahun-tahun mengamati fenomena ini, saya sampai pada sebuah kesimpulan: menyalahkan individu adalah cara termudah untuk lari dari kenyataan yang jauh lebih pahit. Ini bukanlah kegagalan perorangan, melainkan gejala dari retakan sistemik dalam ekosistem pendidikan kita.
Faktanya
Apa yang kita lihat di ruang sidang hanyalah puncak dari gunung es. Di bawah permukaan, masalahnya jauh lebih dalam. Seorang dosen penguji pernah berkeluh kesah kepada saya, "Seringkali, masalahnya bukan pada risetnya yang kurang baik, tetapi pada ketidakmampuannya mengartikulasikan temuan itu secara logis dalam tulisan."
Keluhan ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan observasi informal, lebih dari separuh mahasiswa semester akhir masih berjuang dengan hal-hal fundamental seperti melakukan parafrasa yang etis, menyusun sitasi yang benar, atau sekadar membangun satu paragraf yang koheren.
Seorang mahasiswa bahkan pernah berkata, "Jujur, Bu, kami baru benar-benar merasakan tekanan untuk menulis dengan benar saat mengerjakan skripsi. Sebelumnya, tugas-tugas lain tidak terlalu menekankan hal itu."
Pengakuan ini adalah sebuah alarm. Ia menandakan bahwa masalahnya tidak instan, melainkan hasil dari sebuah perjalanan panjang yang penuh kelalaian.
Retakan Sistemik yang Tak Terlihat