Pemerintah Kabupaten Sampang menggelontorkan anggaran besar untuk merekonstruksi tiga jembatan strategis di Kecamatan Kedungdung, Madura. Dengan total nilai proyek mencapai lebih dari Rp 5,7 miliar, pembangunan ini dinilai krusial untuk menunjang mobilitas warga dan distribusi hasil pertanian.
Namun, di tengah tingginya anggaran, pengamat kebijakan publik menyerukan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengawal pelaksanaan proyek agar transparan dan sesuai standar teknis.
Proyek Strategis Penopang Akses Ekonomi
Tiga jembatan yang sedang direkonstruksi meliputi:
- Jembatan Daleman di ruas Daleman-Pasarenan, dengan nilai pagu Rp 2.186.600.000,
- Jembatan Mangar di ruas Batoporo Barat-Pajeruan senilai Rp 1.548.700.000,
- dan Jembatan Gantung Desa Rahayu di ruas Rahayu-Pasarenan sebesar Rp 2.054.300.000.
Ketiganya terletak di wilayah vital yang selama ini menjadi jalur utama warga untuk mengangkut hasil bumi serta kebutuhan pokok antar desa.
Sorotan terhadap Transparansi dan Partisipasi Warga
Addul, pengamat kebijakan publik dari Madura, menilai besarnya anggaran yang dialokasikan perlu dikawal secara ketat oleh berbagai pihak.
"Proyek dengan nilai di atas Rp 5 miliar bukan angka kecil, apalagi ini menyangkut infrastruktur yang berdampak langsung ke masyarakat desa. Jangan sampai kualitasnya dikorbankan karena minim pengawasan," kata Addul saat diwawancarai, Kamis (25/7).
Ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat setempat, tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pengawas sosial.
"Pemerintah harus membuka informasi detail pelaksanaan proyek, mulai dari kontraktor pelaksana, metode pembangunan, hingga rencana waktu pengerjaan. Ini sejalan dengan prinsip keterbukaan informasi publik," lanjutnya.
Risiko Teknis dan Potensi Penyimpangan
Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan bahwa proyek infrastruktur desa kerap bermasalah, terutama jika pengawasan lemah dan spesifikasi teknis tidak terpenuhi. Dalam sejumlah kasus, pembangunan jembatan desa bahkan runtuh sebelum masa pemanfaatannya mencapai satu tahun.
"Yang sering terjadi adalah penghematan material, manipulasi volume pekerjaan, dan ketidaksesuaian dengan standar konstruksi jembatan dari Kementerian PUPR. Hal ini sangat mungkin terjadi jika tidak ada pengawasan lapangan dari warga maupun pendamping teknis independen," tambah Addul.