Lihat ke Halaman Asli

Eksistensi Tradisi Syawalan pada Masyarakat Sukoharjo di Tengah Arus Modernisasi

Diperbarui: 8 Oktober 2025   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : kabarpasti.com

Modernisasi membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, banyak tradisi lokal yang mulai terlupakan. Namun, masyarakat Sukoharjo masih mempertahankan tradisi Syawalan atau Bakda Kupat sebagai wujud kebersamaan dan perpaduan budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam. Tradisi ini telah berlangsung sejak masa penyebaran Islam oleh para Walisongo, yang menggunakan pendekatan budaya untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Dalam proses tersebut, tradisi selamatan pasca-Lebaran yang semula merupakan kebiasaan masyarakat agraris diubah maknanya menjadi kegiatan bernuansa religius, yakni Syawalan. Tradisi ini menjadi bukti bahwa kemajuan zaman tidak selalu menghapus budaya lokal, melainkan mampu berjalan berdampingan dengan pelestarian nilai-nilai budaya dan religius yang diwariskan oleh para leluhur.

Tradisi merupakan kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sedangkan akulturasi budaya adalah proses perpaduan antara dua kebudayaan yang berbeda tanpa menghilangkan ciri khas budaya asli. Dalam tradisi Syawalan atau Bakda Kupat, terlihat jelas adanya hubungan antara budaya Jawa dan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam seperti silaturahmi, saling memaafkan, dan bersyukur berpadu harmonis dengan budaya Jawa yang menekankan kebersamaan serta gotong royong. Tradisi ini menjadi wujud akulturasi yang memperlihatkan keharmonisan antara ajaran Islam dan kearifan budaya lokal masyarakat Sukoharjo.

Tradisi Syawalan atau Bakda Kupat di Sukoharjo memiliki asal-usul yang erat kaitannya dengan ajaran Walisongo yang memperkenalkan simbol-simbol Islam melalui budaya masyarakat. Tradisi ini mengandung makna simbolik yang mendalam, di mana kupat berasal dari kata "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan, sedangkan lepet melambangkan kesalahan yang diikat agar tidak terulang kembali. Pelaksanaannya biasanya dilakukan satu minggu setelah Idulfitri, ditandai dengan kegiatan doa bersama, makan kupat dan lepet, serta silaturahmi antarwarga. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat mengekspresikan rasa syukur, kebersamaan, dan semangat saling memaafkan.

Di tengah arus modernisasi, tradisi Syawalan menghadapi berbagai tantangan, seperti pengaruh budaya luar dan menurunnya minat generasi muda untuk terlibat dalam kegiatan tradisional. Namun, masyarakat Sukoharjo terus berupaya melestarikannya melalui peran aktif tokoh masyarakat, dukungan pemerintah daerah, serta pendidikan budaya lokal di sekolah-sekolah. Upaya tersebut bertujuan agar nilai-nilai kebersamaan, religiusitas, dan kearifan lokal dalam tradisi Syawalan tetap hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Dengan demikian, tradisi Syawalan tetap eksis sebagai wujud akulturasi antara ajaran Islam dan budaya Jawa yang kaya akan makna. Di tengah arus modernisasi, nilai-nilai luhur seperti rasa syukur, kebersamaan, dan gotong royong perlu terus dijaga agar tradisi ini tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga menjadi sarana mempererat hubungan sosial dan memperkuat identitas masyarakat Sukoharjo.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline