Langit sore di Pati mulai memudar warnanya ketika saya melangkah keluar dari gerbang SMK Negeri 2. Hari itu kelas pelatihan pembelajaran mendalam yang saya bawakan telah selesai. Sisa-sisa energi saya tersisa di ujung senyum dan di genggaman buku catatan yang penuh coretan. Seperti biasa, saya membuka aplikasi ojek online untuk kembali ke hotel. Hanya butuh kurang dari lima belas menit sampai seorang pengemudi bernama "Agung" muncul di layar ponsel saya. Saya menutup tas, merapikan jaket, lalu melangkah menuju titik jemput.
Motor bebek berwarna hitam berhenti perlahan di depan saya. Helm cadangan diulurkan dengan sopan, dan senyum tipis menyambut. "Mas Agung, ya?" tanya saya. Ia mengangguk sambil berkata singkat, "Iya, Pak." Perjalanan dimulai tanpa banyak kata. Jalanan Pati sore itu ramai, suara mesin bercampur klakson dan obrolan pedagang kaki lima di tepi jalan. Saya, seperti kebiasaan setiap bertemu orang baru, mulai bertanya ringan: nama, dari mana, dan kegiatan sehari-hari.
Awalnya, Mas Agung menjawab santai. Ia lulusan salah satu universitas negeri di Yogyakarta, jurusan pendidikan. Sekarang bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah menengah di Pati. Baru kemudian, dengan nada sedikit lebih pelan, ia menambahkan bahwa selepas mengajar, ia mengojek untuk menambah penghasilan. "Kalau cuma dari gaji guru honorer," katanya sambil tersenyum pahit, "seminggu saja tidak cukup untuk makan, Pak."
Gambar Pribadi
Saya terdiam sejenak. Angin sore yang berhembus di sela helm terasa lebih dingin dari biasanya. Di hadapan saya, di balik jaket dan helm sederhana, duduk seorang guru---seorang pendidik yang hidupnya harus dibagi dua: antara papan tulis dan jalan raya, antara kapur dan pedal gas. Kata-kata Mas Agung berputar di kepala saya. Dalam benak, saya teringat betapa seringnya saya hadir di hotel-hotel berbintang, mengikuti atau mengisi pelatihan dengan biaya besar, membicarakan strategi meningkatkan kompetensi guru. Saya merasa bangga saat itu, seolah sedang membangun masa depan pendidikan bangsa. Tapi sore itu, di jok belakang motor, saya dihantam oleh pertanyaan yang tak nyaman: apakah semua yang saya lakukan benar-benar untuk guru seperti Mas Agung?
Sepanjang perjalanan, saya mulai melihat hal-hal kecil yang sebelumnya sering saya abaikan. Sepatu Mas Agung sedikit aus di ujungnya, celana yang ia kenakan rapi tapi warnanya sudah mulai pudar. Ia mengemudi dengan tenang, kadang melambat agar saya merasa aman. Ia bercerita sedikit tentang murid-muridnya, bagaimana ia mencoba membuat pelajaran menjadi menyenangkan meski fasilitas terbatas. "Kadang, Pak, saya bawa kapur sendiri dari rumah," katanya sambil tertawa kecil, meski saya tahu tawa itu menyembunyikan kenyataan yang getir.
Saya merasa pipi saya hangat, dan tanpa sadar, air mata mulai mengalir di balik visor helm. Bukan karena kasihan, tapi karena malu. Malu pada diri sendiri yang sering membicarakan "pejuang pendidikan" di ruang-ruang ber-AC, sementara di luar sana, pejuang sejati seperti Mas Agung berjuang sendirian dengan gaji yang bahkan tidak cukup untuk hidup layak. Mas Agung tidak tercatat di panggung besar seminar, tidak diundang dalam diskusi kebijakan, tapi ia ada---mengajar, membentuk masa depan, lalu menyalakan mesin motor demi bisa membawa pulang sebungkus nasi untuk keluarganya.
Motor terus melaju melewati pasar, warung kopi, dan deretan toko yang mulai menutup pintu. Sambil memegang erat tas di pangkuan, saya memikirkan kembali konsep "pahala" yang sering saya bayangkan. Selama ini, saya berharap setiap materi pelatihan yang saya sampaikan adalah amal jariyah. Tapi apa gunanya jika pelatihan itu tidak menyentuh mereka yang paling membutuhkan? Apa arti gelar "pejuang pendidikan" jika yang saya bantu hanya mereka yang sudah cukup beruntung, sementara yang di bawah justru harus berjuang sendirian?
Tiba di depan hotel, Mas Agung memarkir motor dengan rapi. Saya turun, menyerahkan ongkos perjalanan melalui aplikasi, lalu menatapnya sebentar. Ingin rasanya saya mengatakan banyak hal, memberikan sesuatu, atau bahkan sekadar berterima kasih lebih dalam dari kata "terima kasih" biasa. Tapi yang keluar hanya kalimat sederhana, "Semoga sehat selalu, Mas. Terus semangat mengajar." Ia tersenyum lebar, mengangguk, lalu melaju pergi, menghilang di antara lalu lintas malam yang mulai padat.
Saya berdiri sebentar di depan pintu hotel, menatap lampu-lampu kendaraan yang berseliweran. Perasaan hangat bercampur getir memenuhi dada. Saya sadar, pertemuan singkat di jok belakang Gojek ini telah mengubah sesuatu dalam diri saya. Ia seperti cermin yang memantulkan wajah asli pendidikan kita---wajah yang lelah tapi tetap tersenyum, yang tak tercatat dalam laporan resmi, tapi nyata dalam kehidupan sehari-hari.