Lihat ke Halaman Asli

Guru Honorer Swasta Di Persimpangan: Antara Loyalitas Dan Masa Depan Yang Tak Pasti

Diperbarui: 10 Oktober 2025   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mas'udin Muh Lamabawa


Oleh: Mas'udin Muh Lamabawa

LEUBATANG_

Di balik gemerlap nama dan fasilitas beberapa sekolah swasta, tersembunyi sebuah realitas yang sering luput dari perhatian publik: para guru honorer. Mereka adalah pilar pendidik yang menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, namun hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Saat program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) digaungkan pemerintah sebagai salah satu solusi, justru hati mereka tercabik. Mereka berada di persimpangan jalan yang pelik; antara loyalitas pada sekolah yang telah menjadi rumah kedua dan tarikan masa depan yang lebih menjanjikan.

Loyalitas yang Dipertanyakan oleh Nasib

Bagi banyak guru honorer swasta, sekolah tempat mereka mengajar bukan sekadar tempat mencari nafkah. Ikatan emosional telah terbangun bertahun-tahun. Mereka mengenal setiap sudut ruangan, memahami karakter setiap siswa, dan telah menorehkan segenap tenaga untuk memajukan institusi tersebut. Loyalitas ini adalah modal sosial yang tak ternilai bagi sekolah.

Namun, loyalitas seringkali diuji oleh realitas finansial dan jaminan hidup. Upah yang diterima kerap tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang dipikul. Status "honorer" membuat mereka rentan: tanpa tunjangan yang memadai, tanpa jaminan pensiun, dan dengan kontrak yang bisa berakhir kapan saja. Dalam diam, pertanyaan besar menggelayuti pikiran: "Sampai kapa saya harus bertahan dengan ketidakpastian ini?"

PPPK: Angin Segar atau Badai Konflik Batin?

Kehadiran program PPPK bagai oase di padang pasir. Program ini menawarkan apa yang selama ini didambakan: status sebagai aparatur sipil negara (walaupun bukan PNS), gaji dan tunjangan yang layak, serta jaminan sosial yang jelas. Bagi banyak guru honorer, ini adalah peluang emas untuk mengamankan masa depan mereka dan keluarga.

Namun, di sinilah konflik batin itu muncul. Untuk mengikuti seleksi PPPK, seringkali diperlukan fokus, waktu, dan energi ekstra untuk mempersiapkan diri. Sementara itu, tuntutan mengajar di sekolah swasta tetap berjalan. Lebih dari itu, ada beban moral yang berat. Banyak yang merasa bahwa meninggalkan sekolah untuk PPPK adalah bentuk "pengkhianatan" terhadap lembaga dan rekan-rekan yang telah bersama-sama berjuang. Pertanyaannya, haruskah pengabdian dibayar dengan mengorbankan kepastian masa depan?

Sekolah Swasta di Tengah Pusaran Ini

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline