Lihat ke Halaman Asli

Munafik dan keras hati

Diperbarui: 24 September 2025   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bayangan di Balik Senyum

Di sebuah sekolah menengah, ada seorang siswa bernama Raka. Wajahnya selalu tersenyum, kata-katanya terdengar manis, dan ia sering terlihat dekat dengan guru. Hampir semua orang mengenalnya sebagai anak yang baik, rajin beribadah, dan suka menolong. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik senyumnya, Raka menyimpan sifat munafik dan hati yang keras.

Di depan guru, ia selalu berkata, "InsyaAllah, saya kerjakan, Bu." Namun ketika tiba di rumah, buku pelajaran justru dibiarkan menumpuk berdebu. Saat teman-temannya sedang sibuk belajar untuk ulangan, ia malah bermain gim sambil tertawa lepas. Ironisnya, ia masih pandai berdalih. "Ah, gampang. Toh nanti aku bisa menyontek," gumamnya sambil tersenyum puas.

Teman dekatnya, Ilham, sering gelisah melihat sikap itu. Suatu sore di kantin sekolah, ia memberanikan diri menasihati.

"Rak, kamu jangan begini terus. Orang lain percaya sama kamu karena sikapmu di depan guru, tapi aku tahu aslinya. Jangan jadikan kebaikan itu topeng."

Raka tertawa kecil. "Ilham, kamu terlalu polos. Dunia ini bukan sekadar belajar keras. Yang penting pintar cari jalan. Aku sudah terbukti juara kelas, kan?"

Perkataan itu membuat hati Ilham perih. Ia tahu Raka pintar, tapi kepintarannya dipakai untuk menipu. Ia hanya bisa berdoa semoga suatu hari temannya itu sadar.

Hari ujian tiba. Raka dengan liciknya menyelipkan catatan kecil di balik lengan seragam. Ia menulis dengan huruf kecil-kecil, nyaris tak terbaca kecuali oleh dirinya sendiri. Saat guru lewat, ia pura-pura serius mengerjakan soal. Setiap kali berhasil mengintip catatan, wajahnya semakin percaya diri.

Nilai ujian keluar seminggu kemudian. Raka meraih peringkat pertama. Guru memujinya di depan kelas.

"Contohlah Raka. Rajin, disiplin, dan berprestasi," kata guru bangga.

Tepuk tangan bergemuruh. Beberapa teman berbisik kagum. Namun di sudut ruangan, Ilham hanya diam. Ia menunduk, tidak tega melihat kepalsuan yang dipuji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline