Lihat ke Halaman Asli

Fathan Muhammad Taufiq

TERVERIFIKASI

PNS yang punya hobi menulis

Akhirnya Kuputuskan Menjatuhkan "Talak Tiga" Untuknya

Diperbarui: 21 November 2020   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi berhenti merokok. (sumber: pxiabay.com/HansMartinPaul)

Aku mulai mengenalnya sejak masih duduk di bangku SMP, bahkan mungkin ketika masih berada di sekolah dasar. Tapi aku mulai dekat dan menyukainya, setelah tamat dari SMP, ketika aku akhirnya gagal melanjutkan sekolah ke jenjang SMA karena tidak mampu menembus sekolah negeri, yang biaya sekolahnya murah.

Masa-masa aku "nganggur" sebelum akhirnya masuk ke SMA tahun berikutnya, membuatku semakin akrab dengannya, membuatku semakin akrab dengannya, dalam kondisi "galau", dia selalu setia menemaniku. 

Kedekatanku dengannya terus berlanjut ketika aku mulai duduk di bangku SMA, meski aku harus sedikit membatasinya, karena harus fokus belajar dan takun ketahuan guru, kemudian disanksi oleh sekolah. Tapi perjalan panjangku dengannya, harus kuakhiri dengan 'talak tiga'

Aku mulai mengenal tembakau berbumbu cengkih berbalut kertas sigaret ini sudah sejak usia belasan tahun, saat aku masih sekolah di tingkat SMP, bahkan aku sudah mulai coba-coba untuk mengisapnya ketika masih berada di bangku terakhis sekolah dasar. Tapi waktu itu, aku merokok hanya secara insidentil saja, misalnya pas momentum hari lebaran, sekedar untuk gengsi-gegsian sama teman-teman.

Memasuki usia SMP, aku sudah mulai sering merokok sebatang-sebatang, tapi belum kecanduan, karena dalam seminggu mungkin hanya dua tiga kali saja mengisap rokok, dan jujur saat itu belum bisa merasakan nikmatnya merokok, hanya merasa asyik saja.

Kecanduanku terhadap benda bernikotin yang konon sangat tidak baik untuk kesehatan ini, mulai menjadi-jadi ketika aku tamat SMP pertengahan tahun 1982.

Kebetulan aku tidak mampu menembus SMA Negeri yang biaya sekolahnya terjangkau oleh orang tuaku yang hanya seorang pegawai negeri dengan pangkat rendah, sementara adik-adiku ada empat orang. Untuk memaksakan diri masuk ke sekolah swasta yang biaya sekolahnya tinggi, jelas nggak mungkin.

Gambar 1, Rokok terselip dibibir, seolah sudah menjadi ikon dalam setiap penampilanku (Doc. FMT)

Saat menganggur sekolah seperti itu, aku akhirnya berusaha kerja serabutan, yang penting bisa menghasilkan uang dengan cara halal. Mulai dari buruh merajang jahe, menjual mainan anak-anak sampai terjun ke bisnis kecil-kecilan dalam bidang pengolahan jahe. 

Punya penghasilan sendiri, meski hanya sedikit, membuat aku semakin dekat dengan rokok, meski masih dalam porsi terbatas, sehari paling menghabiskan 2 -- 3 batang saja.

Ketergantunganku pada rokok semakin menjadi ketika keluargaku memutuhkan untuk 'hijrah' ke Aceh untuk merubah nasib dengan membuka lahan pertanian disini. Sebagai anak tertua dengan adik-adik yang masih kecil, aku menjadi pembantu utama bagi orang tua untuk membuka lahan baru di pedalaman kabupaten Aceh Tengah.

Bekerja di lahan baru yang masih berupa tebangan hutan nyaris sepanjang hari, membuatku seperti membutuhkan asupan nikotin sebagai 'pemicu semanagat' kerja, meskipun sebenarnya itu hanya sugesti saja. 

Di situlah aku mulai intens merokok, sehari menghabiskan sebungkus isi 20 batang, bahkan bisa lebih. Kondisi seperti itu terus berlanjut sampai akhirnya kau bisa masuk ke sebuah SMA Negeri di kabupaten Aceh Tengah pada pertengahan tahun 1983.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline