Duduk, diam, dengarkan suara hati, dan damaikan setiap pengalaman dalam permenungan batin merupakan sebuah proses membangun kesadaran diri dan membangun komitmen diri untuk menjadi lebih baik. Sudahkah kita bijak dalam kata-kata dan memberikan porsi besar pada diri untuk mendengarkan?
Penulis dan filsuf Amerika Henry David Thoreau menulis, "Diperlukan dua orang untuk membicarakan kebenaran, yang satu berbicara dan yang satunya mendengarkan."
Ketika semua orang berbicara dan terus berbicara maka kehampaan dan kesimpangsiuranlah yang terjadi dalam setiap pikiran dan hati pribadi.
Masing-masing pribadi bergelut dan memaksakan kehendak dan pikirannya pada pribadi lain tanpa ada kesempatan untuk memahami dan mengendapkannya dalam sebuah penalaran logika dan permenungan makna di dalam hati.
Belajar mendengarkan sejatinya sebuah proses menjadi bijaksana dalam menjalani hidup, setidaknya bijaksana dengan diri sendiri.
Mendengarkan orang lain sesungguhnya merupakan proses mengembangkan diri menuju keutuhan diri, berkembang dalam pikiran, perasaan, dan tindakan.
Lebih dari itu, belajar mendengarkan orang lain berarti membantu kita mengenal orang lain lebih baik, mempelajari apa yang mereka pelajari, dan menunjukkan kepada mereka bahwa kita menghargai mereka sebagai pribadi yang berharkat dan bermartabat.
Manusia sepertinya diciptakan untuk banyak belajar mendengarkan daripada berbicara karena betapa sulitnya manusia untuk mendengarkan sesamanya.
Hal ini sejalan dengan apa yang terungkap dalam pepatah kuno, "Ada alasannya mengapa manusia memiliki satu mulut dan dua telinga." Secara semiotik (makna perlambangan), manusia tercipta dengan dua telinga agar lebih banyak belajar untuk mendengarkan.
Mulai bangun pagi, seringkali setiap pribadi sudah sibuk dengan mulut dan berkata-kata hingga malam kembali tiba, sedangkan mendengarkan tidak memiliki porsi yang sewajarnya. Ini bisa menjadi refleksi diri (koreksi batin) terhadap keseharian kita.