"Kepercayaan adalah tanah yang susah ditegakkan kembali setelah rusak," kata Khalil Gibran. Kalimat itu terasa sangat pas ketika kita melihat bagaimana program Makan Bergizi Gratis (MBG) di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai goyah bukan karena urgensi idealismenya, melainkan oleh kelalaian dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban fiskal.
Angka Besar: Dana MBG yang Digarap dan Tantangannya
Sejak dirancang, program MBG telah disiapkan dengan angka-angka yang sangat besar. Untuk tahun anggaran 2025, pemerintah mematok alokasi awal sebesar Rp 71 triliun untuk mendanai MBG. Namun realisasinya belum signifikan: per Mei 2025, baru sekitar Rp 2,38 triliun atau sekitar 3,36 % dari pagu telah terserap.
Memasuki 2026, proporsi anggaran MBG melonjak drastis. Pemerintah menyiapkan sekitar Rp 335 triliun untuk program ini, yang dirancang melayani sekitar 82,9 juta orang. Di dalam perhitungan itu tertera bahwa operasional MBG akan menelan estimasi Rp 1,2 triliun per hari. Dari komposisi anggaran tersebut, sekitar 223,6 triliun dialokasikan dari Anggaran Pendidikan (untuk penerima manfaat siswa), sementara sisanya dialihkan dari fungsi kesehatan, ekonomi, dan cadangan.
Selain anggaran langsung dari APBN, pembangunan dapur MBG (SPPG) banyak dibiayai oleh mitra. Menurut pernyataan Badan Gizi Nasional, setiap unit SPPG menelan dana sekitar Rp 1,5--2 miliar dari mitra, dan total dana mitra yang beredar di masyarakat telah mendekati Rp 28 triliun.
Dengan dana sedemikian besar, ekspektasi publik tentu sangat tinggi: program ini bukan sekadar memberi nasi bungkus, melainkan menjadi lambang negara hadir, melawan stunting, memperkuat kedasyatan sumber daya manusia. Namun ketika ribuan anak justru keracunan---itulah titik di mana kepercayaan bisa runtuh secepat runtuhnya gelas kaca tipis di lantai.
Ribuan Anak Menjadi Korban: Antara Statistik dan Realitas
Meski dana melimpah, laporan kasus keracunan terus muncul. JPPI mencatat hingga September 2025, sedikitnya 6.452 anak diduga keracunan usai mengonsumsi menu MBG. Kasus-kasus serius seperti 314 siswa di Banggai Kepulauan, sekitar 121--174 siswa di Kabupaten PALI, dan lebih dari 170 siswa di Bogor menunjukkan bahwa problemnya menyebar.
BPOM sendiri menyebut telah mencatat 17 kejadian luar biasa terkait MBG di 10 provinsi antara Januari hingga Mei 2025. Meski belum semua dikonfirmasi sebagai keracunan murni, angka ini saja cukup mengganggu keyakinan publik.
Tuduhan pedas pun muncul: "MBG diplesetkan menjadi Makanan Beracun Gratis." Bukan sekadar ejekan politik, itu merupakan refleksi kemarahan masyarakat yang melihat janji besar berbalik menjadi luka.