Lihat ke Halaman Asli

Marius Gunawan

TERVERIFIKASI

Profesional

Tepatkah Pendekatan "Tone Positif" Menurut Fadli Zon dalam Penulisan Ulang Sejarah?

Diperbarui: 7 Juni 2025   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fadli Zon Menteri Kebudayaan (detik.com)

"Sejarah bukan untuk disenangkan, tapi untuk dikenang, dipelajari, dan jika perlu---disesali."---Yuval Noah Harari, sejarawan dan penulis buku Sapiens

Penulisan ulang sejarah kembali menjadi polemik. Kali ini, pusat perdebatan adalah pernyataan kontroversial dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyebut bahwa penulisan sejarah ke depan akan menggunakan pendekatan "tone positif." Ia menyampaikan hal ini sebagai respons atas kritik publik terhadap rencana pemerintah menulis ulang sejumlah bagian sejarah Indonesia, terutama periode-periode kelam seperti 1965, Orde Baru, dan konflik horizontal di berbagai daerah.

Namun, apa sebenarnya maksud dari "tone positif" yang dimaksud Fadli Zon? Apakah ini sekadar pendekatan naratif yang lebih bersahabat, ataukah ini merupakan upaya sistematis untuk memoles sejarah agar lebih cocok dengan narasi kekuasaan?

Jawabannya perlu dikaji dengan hati-hati, karena menyangkut bukan hanya memori kolektif bangsa, tapi juga kejujuran kita terhadap masa lalu.

Tone Positif: Upaya Meredam atau Membungkam?

Dalam salah satu wawancaranya, Fadli Zon menyatakan bahwa penulisan sejarah Indonesia tidak seharusnya bersifat "membuka luka lama" atau "menceritakan konflik secara vulgar." Ia menginginkan sejarah yang bersifat membangun, menyatukan bangsa, dan tidak memecah belah. Karena itu, narasi "positif" menjadi pendekatan yang ia dorong dalam penyusunan ulang kurikulum dan dokumen sejarah nasional.

Masalahnya, ketika sejarah dipilih dan disunting agar "tidak menyakiti," maka apa yang dihasilkan bukanlah sejarah, melainkan propaganda.

Menurut ahli sejarah Inggris, E.H. Carr dalam bukunya What is History?, "Sejarah adalah interpretasi yang terus berkembang, tetapi ia harus berbasis pada fakta." Artinya, sejarah memang bukan sekadar daftar kronologis, tapi harus jujur terhadap kenyataan---tidak ditutup-tutupi, apalagi dikaburkan demi kenyamanan politik.

Sejarah Bukan Alat Kekuasaan

Pernyataan Fadli Zon seakan menghidupkan kembali praktik Orde Baru, di mana sejarah ditulis untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan. Tragedi 1965-66, misalnya, selama bertahun-tahun hanya ditulis dari perspektif negara: bahwa "pembersihan" terhadap mereka yang dianggap PKI adalah langkah penyelamatan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline