Lihat ke Halaman Asli

Yulius Maran

TERVERIFIKASI

Educational Coach

Emosi Pemimpin adalah Atmosfer Sekolah

Diperbarui: 27 Mei 2025   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/

Pada suatu pagi yang lengang di tengah perbukitan Lembata, seorang kepala sekolah bernama Pak Yosef berjalan menyusuri halaman sekolah dengan langkah perlahan. Ia bukan sekadar memastikan kesiapan apel pagi, tetapi juga sedang mempersiapkan dirinya sendiri --- secara mental dan emosional. "Kalau saya sedang marah, anak-anak langsung tahu dari sorot mata," katanya lirih suatu hari. Ia sadar, kehadirannya bukan hanya membawa keputusan administratif, melainkan juga gelombang energi yang bisa menenangkan atau mengguncang seluruh atmosfer sekolah. Setelah dua dekade memimpin, ia menyimpulkan satu hal: "Yang paling sulit bukan mengelola orang lain, tapi mengelola diri sendiri." Refleksi ini menjadi pondasi dari bentuk kepemimpinan yang sejati --- kepemimpinan yang dimulai dari dalam diri.

Banyak kepala sekolah merasa bahwa mereka harus selalu tegas, kuat, dan tidak menunjukkan emosi. Namun, studi demi studi justru menunjukkan sebaliknya: emosi pemimpin sekolah tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga membentuk atmosfer psikologis seluruh sekolah. Ketika kepala sekolah panik, cemas, atau marah, guru dan siswa akan menyerap ketegangan itu---seperti spons yang menyerap air. Pemimpin yang mampu mengelola emosinya akan menciptakan ruang kerja yang lebih stabil, inklusif, dan kondusif untuk pertumbuhan semua pihak.

Daniel Goleman (1995) dalam bukunya Emotional Intelligence menegaskan bahwa kemampuan mengelola emosi adalah indikator kuat dari efektivitas kepemimpinan. Seorang pemimpin yang memahami dan mengatur emosinya dengan baik akan lebih mampu membina relasi, merespon konflik dengan bijak, serta membuat keputusan yang tidak impulsif. Di lingkungan sekolah, hal ini sangat krusial. Guru akan merasa aman bekerja di bawah pemimpin yang tidak mudah tersinggung. Siswa pun akan lebih berani mengemukakan pendapat jika pemimpinnya tenang dan empatik.

Lebih jauh, self-regulation---kemampuan untuk menahan impuls dan mengelola stres---merupakan keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan pendidikan. Ketika konflik muncul antara guru, orangtua, atau antarstaf, pemimpin yang reaktif hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, pemimpin yang reflektif akan melihat lebih dalam ke akar persoalan dan menjadi mediator yang mendamaikan. Ini bukan soal teknik komunikasi semata, tetapi hasil dari kerja batin yang berkelanjutan untuk tetap hadir dalam kesadaran penuh.

Di sinilah pentingnya membangun budaya emosi sehat di sekolah. Kepala sekolah dapat memulainya dengan membiasakan percakapan yang jujur dan terbuka tentang emosi---bukan dalam bentuk curhat tak berujung, tetapi dalam kerangka profesional yang menyadari bahwa manusia bekerja bukan hanya dengan kepala, tetapi juga dengan hati. Workshop sederhana tentang emotional literacy bagi guru dan tenaga kependidikan dapat membantu seluruh komunitas sekolah membangun kosakata emosi, meningkatkan empati, dan memperkecil miskomunikasi yang bersumber dari prasangka atau interpretasi yang keliru.

Kesadaran emosi juga melatih pemimpin untuk menjadi pendengar yang baik. Dalam banyak kasus, guru tidak butuh solusi instan. Mereka hanya ingin didengarkan dengan tulus. Ketika kepala sekolah mampu hadir tanpa menghakimi, tanpa langsung memberi nasihat, sebuah kepercayaan akan tumbuh. Dari kepercayaan inilah perubahan lahir. Maka benarlah ungkapan yang mulai diterima banyak praktisi pendidikan hari ini: bahwa yang paling menentukan bukanlah seberapa cerdas strategi kita, melainkan seberapa dalam koneksi emosional yang berhasil kita bangun di ruang sekolah.

1. Kepemimpinan Dimulai dari Kesadaran Diri

Kesadaran diri bukan sekadar kemampuan mengenali emosi, tetapi fondasi utama bagi semua tindakan seorang pemimpin. Pemimpin yang tidak menyadari emosi pribadinya mudah terjebak dalam reaksi impulsif. Di lingkungan sekolah yang dinamis dan penuh tekanan, respons emosional yang tidak terkendali bisa berdampak destruktif --- dari keputusan yang tergesa-gesa hingga hubungan yang renggang dengan guru dan siswa.

Kepemimpinan reflektif membutuhkan waktu hening untuk membaca keadaan batin. Dalam konteks ini, praktik jurnal pribadi, meditasi harian, atau dialog batin bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Pemimpin yang mampu menyadari pikiran dan perasaannya sendiri akan lebih jernih dalam membaca situasi, lebih adil dalam mengambil keputusan, dan lebih tenang dalam menghadapi konflik.

Kesadaran diri juga mencakup pengenalan terhadap kekuatan dan keterbatasan pribadi. Seorang kepala sekolah yang memahami bahwa ia lemah dalam aspek tertentu akan lebih terbuka untuk belajar, berbagi tanggung jawab, dan membangun tim kerja yang saling melengkapi. Hal ini menciptakan budaya organisasi yang inklusif dan kolaboratif.

Dalam literatur psikologi kepemimpinan, kesadaran diri merupakan salah satu komponen utama dari kecerdasan emosional (Goleman, 1995). Tanpa kesadaran diri, empati pun hanya menjadi basa-basi. Sebaliknya, ketika pemimpin mampu memetakan dinamika batinnya, ia dapat hadir secara utuh dan autentik dalam setiap perjumpaan dengan warga sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline