Lihat ke Halaman Asli

Media, Oligarki, dan Runtuhnya Ruang Publik dalam Legislasi RUU Cipta kerja

Diperbarui: 22 Juni 2025   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Only in a public sphere subject to the requirements of communicative rationality can public opinion be formed that is inclusive and rational." (Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962)

Proses pembentukan Undang-Undang Cipta kerja (Omnibus Law) membuktikan adanya keretakan serius dalam praktik demokrasi Indonesia. Demi mendorong iklim investasi dan menyederhanakan regulasi, pemerintah dan DPR justru mengabaikan prinsip transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas yang menjadi fondasi demokrasi deliberatif. UU Cipta Kerja lahir bukan semata karena kebutuhan teknokratis atau niat murni reformasi birokrasi, melainkan sangat dipengaruhi oleh struktur kekuasaan oligarkis, dorongan pertumbuhan ekonomi instan, serta minimnya kontrol dan partisipasi publik dalam prosesnya.

Dalam demokrasi deliberatif, ruang publik adalah tempat bagi warga negara untuk berdialog dalam mengritik dan terlibat aktif dalam proes pengambilan keputusan politik. Namun, pada kasus Omnibus Law, prinsip-prinsip tersebut tampaknya diabaikan. Bukannya terbuka dan partisipatif, proses legislasi malah berjalan cepat, tertutup, dan nyaris eksklusif yang hanya melibatkan pemerintah dan elite politik.

Legislasi yang Tertutup dan Sentralistik

Sejak awal, prose pembentukan RUU Cipta kerja sudah menuai kritik karena dilakukan tanpa transparansi. Draf yang tidak segera dipublikasikan, pembahasan yang terburu-buru, dan minimnya ruang konsultasi publik menunjukkan bahwa proses ini lebih berpihak pada efisiensi birokrasi ketimbang kualitas demokrasi. Bahkan pada beberapa kesempatan, draf final yang disahkan berbeda dari versi yang sebelumnya telah beredar, menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan.

Bahkan aktor-aktor masyarakat sipil temasuk serikat buruh, LSM lingkungan, dan akademisi tidak diberi ruang yang cukup untuk terlibat. Ini menunjukkan adanya ketidakpedulian terhadap prinsip deliberatif, yang mengutamakan keterlibatan rasional dan setara dalam proses pembuatan keputusan publik.  Pemerintah tampaknya lebih memilih jalur teknokratis dan sentralistik, yang justru menjauhkan demokrasi dari rakyatnya sendiri.

Dampak Langsung terhadap Hak Buruh

Secara substansi, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja yang dianggap melemahkan hak-hak buruh. Fleksibilitas kerja, pengurangan pesangon, perluasan sistem outsourcing, hingga penghapusan cuti tertentu menjadi titik penting yang memicu gelombang protes dari kalangan pekerja. Serikat buruh merasa diabaikan dan dikorbankan demi kenyamanan kaum elite. Hal tersebut memperkuat kesan bahwa negara mengalami bias kelas yang lebih mengutamakan investor dibanding keadilan sosial. Itu juga membuktikan bagaimana kebijakan publik akan cenderung berpihak pada kepentingan kelompok tertentu yang lebih kuat secara ekonomi dan politik jika melalui proses deliberasi yang tidak sehat.

Media: Dari Watchdog Menjadi Corong Kekuasaan

Dalam teori demokrasi, media memegang peran sentral sebagai watchdog, pengawas kebijakan publik dan pengendali kekuasaaan. Namun dalam praktiknya, banyak media arus utama justru menjadi corong wacana resmi negara. Alih-alih bersikap kritis, mereka terkesan menyuarakan kepentingan penguasa dan elite bisnis yang mendukung RUU ini. Framing pemberitaan yang minim kritik, serta dominasi narasi positif terhadap RUU Cipta Kerja, menjadi indikasi kuat bahwa independensi media sedang mengalami kekacauan.

Beberapa media besar bahkan dimiliki oleh aktor politik dan pengusaha yang berkepentingan langsung terhadap undang-undang ini. Ketika media tidak lagi menyuarakan kepentingan publik, maka ruang publik kehilangan salah satu penopang terpentingnya. Sebagai respons, banyak publik kemudian beralih ke media sosial untuk menyuarakan protes. Meski ini menunjukkan ketangguhan publik dalam mencari alternatif ruang, kita tidak bisa mengabaikan risiko disinformasi dan polarisasi yang juga berkembang di media sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline