Kawasan Laut Natuna Utara telah diamati bahwa dalam dua dekade terakhir telah menjadi titik pusat dari tarik-menarik kepentingan geopolitik di Asia Tenggara. Saya sangat setuju dengan beberapa opini bahwa potensi sumber daya yang besar seperti minyak, ikan dan gas serta posisi strategis di jalur pelayaran internasional, menjadikan Natuna yang merupakan garis kedaulatan maritim Indonesia banyak diperebutkan dan menjadi area berkonflik, klaim tumpang-tindih dari Tiongkok melalui fenomena Nine Dash Line mengahruskan bahkan memaksa Indonesia merumuskan strategi yang tidak hanya bersifat militeristik, melainkan multidimensi yang dimulai dari menggabungkan kekuatan laut, ekonomi biru, hingga diplomasi maritim agar kedaulatan bukan sekadar simbol, melainkan suatu hak yang nyata dengan bukti kongkrit gerakan dari Indonesia.
Bappenas menyebut bahwa keamanan maritim dan kelestarian ekosistem laut merupakan fondasi bagi ekonomi biru guna memanfaatkan potensi sumber daya laut Indonesia tanpa merusak keberlanjutan alam[1]. Pendekatan ekonomi biru di sini berperan bukan sebagai alternatif militer, tetapi sebagai instrumen memperkuat klaim de facto yang dilakukan Indonesia di Natuna melalui aktivitas ekonomi yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat pesisir. Tokoh kelautan Indonesia, Prof. Rokhmin Dahuri, beliau menegaskan bahwa ekonomi biru bukan hanya eksploitasi sumber daya laut, tetapi perubahan cara pandang dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berkelanjutan yang mensejahterakan masyarakat dan menjaga ekosistem laut[2]. Dalam konteks Natuna, ini berarti pembangunan pelabuhan perikanan, peningkatan kapasitas nelayan lokal, serta pengelolaan perikanan lintas lembaga oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kemenhan, dan Kemenko Marves sebagai bentuk kehadiran negara di laut. Aktivitas ekonomi yang terstruktur di wilayah perbatasan didefinisikan dapat berfungsi ganda yang pertama memperkuat kemandirian masyarakat dan menjadi bukti fisik penguasaan wilayah sesuai asas effective occupation dalam hukum internasional. Sejalan dengan konsep Gunter Pauli tentang “blue economy” yang menekankan inovasi tanpa limbah dan inklusi sosial, keberadaan industri kelautan ramah lingkungan di Natuna tidak hanya memperkuat legitimasi kedaulatan, tetapi juga menahan potensi konflik melalui stabilitas sosial-ekonomi masyarakat lokal. Dengan kata lain, keamanan laut tidak hanya diukur dari jumlah kapal perang yang ada dalam lokasi, tetapi juga dari seberapa kuat nelayan dan ekosistem lautnya bertahan di tengah arus geopolitik global.
Sementara itu, diplomasi maritim menjadi alat diplomasi yang memperlihatkan bagaimana Indonesia menggunakan kekuatan lunaknya dalam mengelola konflik Natuna. Melalui pendekatan defense diplomacy, Indonesia berupaya menjaga keseimbangan antara sikap tegas terhadap pelanggaran dan komitmen pada stabilitas kawasan. Strategi diplomasi ini tercermin dalam konsistensi Indonesia menolak klaim sembilan garis putus (Nine-Dash Line) Tiongkok, sambil tetap menjaga hubungan ekonomi bilateral yang strategis. Dalam kacamata teori diplomasi maritim modern yang dikemukakan oleh Geoffrey Till, kekuatan maritim suatu negara tidak hanya diukur dari kemampuan tempur, tetapi juga dari kapasitasnya membangun norma dan kerja sama di laut[3]. Itulah yang dilakukan Indonesi yang memperkuat diplomasi di ASEAN, mendorong penerapan Code of Conduct in the South China Sea, dan aktif dalam kerangka ASEAN Blue Economy Framework yang menautkan isu keamanan laut dengan pembangunan berkelanjutan. Melalui diplomasi seperti ini, Indonesia tidak terjebak dalam logika konfrontatif , tetapi tampil sebagai stabilisator kawasan. Sinergi antara kekuatan laut, ekonomi biru, dan diplomasi maritim akhirnya menjadi bentuk nyata strategi maritim Indonesia di Laut Natuna Utara sebuah strategi yang tidak hanya menjaga peta, tetapi juga menjaga kehidupan di atas dan di bawah lautnya.
Essay ini menegaskan bahwa konflik di Laut Natuna Utara harus dipahami bukan sekadar sebagai sengketa perbatasan, tetapi sebagai ujian bagi Indonesia dalam menerapkan konsep strategi maritim yang menyeluruh. Kekuatan laut memberikan daya tangkal atau deterrence, ekonomi biru memastikan keberlanjutan dan legitimasi domestik, sementara diplomasi maritim mengokohkan posisi hukum dan moral Indonesia di mata dunia. Ketiga elemen ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling menopan tanpa ekonomi biru, kedaulatan tidak memiliki akar sosial tanpa diplomasi maritim, kedaulatan kehilangan pengakuan serta tanpa kekuatan laut, kedaulatan kehilangan penjaganya. Dalam konteks ini, strategi Indonesia di Natuna merupakan contoh bagaimana negara maritim modern menavigasi geopolitik yang kompleks dengan tetap berpijak pada prinsip keberlanjutan dan perdamaian. Jika dijalankan konsisten, Natuna bukan lagi simbol ancaman, melainkan mercusuar kedaulatan dan kesejahteraan maritim Indonesia.
sumber
Bappenas, “Bappenas Tekankan Inovasi Ekonomi Biru, Pastikan Kemakmuran Inklusif dan Berkelanjutan,” Kementerian PPN/Bappenas, 19 Mei 2024 https://bappenas.go.id/berita/bappenas-tekankan-inovasi-ekonomi-biru-pastikan-kemakmuran-inklusif-dan-berkelanjutan-7BFWV
Prof. Rokhmin Dahuri, Webinar Universitas Katolik Soegijapranata – Prof. Rokhmin Dahuri: Blue Economy Punya Potensi Besar Menuju Kedaulatan Pangan, Universitas Katolik Soegijapranata, 21 Oktober 2022, https://www.unika.ac.id/news/media-massa/online/webinar-universitas-katolik-soegijapranata-prof-rokhmin-dahuri-blue-economy-punya-potensi-besar-menuju-kedaulatan-pangan
Geoffrey Till, “Seapower: A Guide for the Twenty-First Century Second Edition ” London: Routledge 2009, https://www.defence.lk/upload/ebooks/(Cass Series_ Naval Policy and History) Geoffrey Till-Seapower_ A Guide for the Twenty-First Century-Routledge (2009).pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI