Lihat ke Halaman Asli

Mahbub Setiawan

TERVERIFIKASI

Bukan siapa-siapa

Ancaman Kesejatian Diri Manusia dari Opini Masa Kini

Diperbarui: 13 Februari 2018   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (sumber: thehumanist.com)

Jika kita baca semua berita dan artikel opini di dalam media massa, rasanya 24 jam sehari tidak akan cukup untuk menyelesaikannya. Betapa banyak informasi dan opini yang berseliweran di ranah dunia maya. Bagi sebagian orang, beropini sudah merupakan menu harian dan menuliskannya di berbagai media. Sementara bagi sebagian lain, cukup hanya dengan membacanya.

Saat ini sangat sukar menentukan mana yang merupakan opini dan mana yang merupakan fakta. Satu fakta kadang sudah bercampur dengan beragam opini dari massa. Satu fakta kadang sudah tidak murni lagi sebagai peristiwa. Berkelit kelindan antara pemahaman dan kenyataan sudah menjadi ciri dari sajian media massa saat ini.

Animale rationale sudah menjadi kenyataan di zaman sekarang. Bukti bahwa manusia merupakan makhluk yang dibekali dengan kemampuan pikir dan rasionalisasi. Rasionalisasi yang terkadang menjungkirbalikan kebenaran menjadi kenyataan yang buram. Kekaburan dan kesuraman dari satu peristiwa seolah menjadi fakta yang sebenarnya.

Simbolisme dengan Makna Baru

Inikah zaman informasi? Informasi yang sarat dengan interpretasi. Interpretasi yang tidak akan berhenti mengikuti segala opini. Masyarakat luas seolah dibentuk kepribadian dan mentalitasnya dengan sajian informasi yang bersifat opini. Jati dirinya seakan tercabut dari akarnya setelah mereka menyantap informasi.

Kartu kuning yang selama ini kita tahu menjadi alat untuk menyimbolkan pelanggaran dalam pertandingan sepak bola, kini telah menjadi simbol dengan makna yang sangat mengguncang kemapanan persepsi. Tidak ada lagi batasan pemaknaan kartu kuning hanya sebatas di lapangan sepak bola. Kartu kuning sudah menjadi media tersendiri untuk menggambarkan fenomena satu kinerja pemerintah di satu negara.

Selembar kartu kuning sudah menjadi berita nasional yang berkelanjutan. Isu-isu berkaitan erat dengannya seolah tidak berkesudahan. Makna-makna baru diselipkan ke dalamnya sehingga menjadikannya sebagai satu kekuatan penggerak opini massa di lapangan. Nilai dan ukuran moral, produktivitas kerja, efektivitas dan efisiensinya juga ikut terwakili oleh selembar kartu tersebut.

Bukan hanya warga biasa atau wasit di lapangan sepak bola yang menggunakan kartu kuning itu sebagai simbol pergerakan opini bersama, namun juga para politisi tidak mau ketinggalan untuk mengacungkannya walau dengan warna-warna yang berbeda. Warna merah, warna hijau menjadi pilihan lain dari kartu yang acungkan. Namun sebenarnya substansinya sama; mendukung, memperingatkan bahkan menghukum.

Viral dari dan ke Periferal

Jika zaman dahulu opinion maker biasanya para tokoh terkenal ataupun selebritis, namun zaman sekarang sudah tidak ada lagi monopoli semacam itu. Siapa pun warga bisa membuat opini yang memiliki sifat gerak dari pusat ke pinggiran dalam pengertian yang lebih luas. Pusat tidak lagi menjadi pusat secara geografis. Pusat sekarang berarti sumber awal sebuah opini itu muncul yang kemudian bergerak ke pinggiran.

Kita tahu suku Asmat adalah suku yang berada jauh di pinggiran pusat kekuasaan secara politis ataupun secara geografis. Namun kekuatannya sudah mengalahkan hiruk pikuk beragam opini yang bertebaran di pusat-pusat pemerintahan. Sisi kemanusiaan ternyata masih mampu menggerakkan opini masyarakat untuk tidak hanya melulu terfokus pada urusan politik yang melelahkan yang ada di pusat kekuasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline