Oleh: Mahar Prastowo
Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menyebutnya sebagai "rekonstruksi" atau "reka ulang". Tapi yang jelas, kata itulah yang kemudian 'membakar' laporan ke DKPP.
Selasa siang itu, suasana Kantor DKPP di Jakarta agak lengang. Biasa, sidang dugaan pelanggaran kode etik memang bukan sidang pemilu. Tak ada sorak-sorai pendukung. Tapi sidang ini penting. Yang disidangkan dua anggota Bawaslu Jakarta Timur.
Dua nama teradu itu: Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo. Cukup tenang wajah mereka.
Mereka datang untuk membela diri atas tuduhan melampaui batas wewenang, karena telah menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan.
---
Kisahnya berawal dari satu TPS kecil di ujung Kelurahan Pinang Ranti. TPS 28. Bukan TPS penting. Bukan tempat elite mencoblos. Tapi dari sanalah laporan ini bermula.
Hari itu, 27 November 2024. Pilkada DKI Jakarta. Di TPS itu, ada kejadian janggal. Beberapa surat suara yang belum dipakai, katanya, tiba-tiba sudah dicoblos. Oleh siapa? Menurut pengadu, oleh petugas ketertiban. Atas saran siapa? Atas saran Ketua KPPS. Siapa Ketua KPPS-nya? Istri pengadu sendiri. Di situlah simpul ceritanya mulai berbelit.
Pengawas TPS melapor ke Bawaslu. Maka berangkatlah dua komisioner itu---Ahmad dan Prayogo---ke lokasi. Saat mereka datang, proses penghitungan suara sedang jeda. Ini penting: jeda. Bukan dihentikan. Dan jeda itu bukan karena kedatangan mereka. Tapi karena ada surat suara yang harus dihitung ulang. Jumlahnya tidak pas. Ada 18 surat suara yang jadi biang kerok. Lucunya, surat suara itu tidak berada di tangan KPPS. Tapi di tangan pengawas TPS.
Dan seperti biasa: dalam keadaan darurat, keputusan lapangan sering diambil cepat. Ahmad dan Prayogo memutuskan mengumpulkan orang-orang di TPS itu. Ketua KPPS, petugas ketertiban, siapa pun yang tahu soal surat suara itu. Mereka duduk bersama. Bercerita. Merekonstruksi. Atau, setidaknya, menelusuri ulang: bagaimana bisa surat suara itu tercoblos sebelum digunakan.
---