Oleh M. Sanantara
Lokasi jiwa: persimpangan sunyi antara kelahiran dan penghabisan
Suasana: muram, sakral, dan nyeri yang sunyi
Kategori emosi: getir eksistensial, luka metafisik
Simbol jiwa: anak domba cacat, kaset rusak, malaikat berdebu
**
yang hidup tidak boleh terlambat
mengenal kematian; katanya akan
sedini mungkin ia menjemput---
saat yang muda masih ingin menulis
kisahnya di peta yang sengaja disesatkan
saat yang tua ingin meremajakan
air matanya dalam sumur tanpa dasar
yang hidup tidak boleh terbiasa
melewati kematian; katanya akan
sedini mungkin ia menyajikan---
saat yang putus asa ingin menenggak
detik yang lahir cacat dari rahim anjing jalanan
saat yang berani mencoba memutari
langkah yang terlalu lama dirawat
dalam bayangan yang rapuh
kematian,
dari mana muasalmu?
untuk apa keberadaanmu?
apa pernah waktu
tak membuat kita menunggu?
apa pernah waktu
tak menjebak kita dalam jatuh,
keterpaksaan, luka tak bernama?
di mana kebebasan yang dijanjikan?
haruskah kuseberangi cahaya ini
meski tak pernah kutemukan ujung?
**
hari-hariku gugur
di lantai hutan merah
dihempas angin padang ilalang
yang dua bidang tanahnya
menyembunyikan:
air mata,
cetakan kaki,
senyum ibu.
**