Sebuah petisi daring yang menuntut penangkapan Menteri Agama periode 2020 hingga 2024, Yaqut Cholil Qoumas, terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024, mulai ramai diperbincangkan di media sosial. Petisi tersebut muncul hanya beberapa jam setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa kerugian negara akibat dugaan korupsi dalam penentuan kuota haji mencapai lebih dari satu triliun rupiah.
Dalam pernyataannya pada Senin 11 Agustus 2025, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebut angka kerugian tersebut adalah hasil hitungan awal yang masih bisa berkembang. "Dalam perkara ini kuota haji hitungan awal dugaan kerugian negaranya lebih dari satu triliun rupiah," ujarnya di Gedung Merah Putih KPK. Meski demikian, Budi belum dapat memastikan penetapan tersangka karena penyidik masih membutuhkan pemeriksaan terhadap berbagai pihak yang diduga mengetahui maupun terlibat dalam kasus ini.
Beberapa jam kemudian, sebuah petisi muncul di salah satu platform kampanye publik daring. Judulnya provokatif dan langsung menarik perhatian pembaca, memuat tuntutan agar KPK segera memanggil, memeriksa, dan jika terbukti, menahan Yaqut Cholil Qoumas. Dalam deskripsi petisi, penggagasnya menyatakan bahwa dugaan penyalahgunaan kuota haji bukan hanya perbuatan yang merugikan negara secara finansial, tetapi juga merampas hak ibadah jutaan umat Islam Indonesia yang telah menunggu bertahun-tahun.
Petisi tersebut memuat empat tuntutan utama. Pertama, KPK diminta segera memanggil dan memeriksa Yaqut secara terbuka dalam kasus dugaan korupsi kuota haji 2024. Kedua, menetapkan status hukum yang tegas terhadapnya jika ditemukan bukti keterlibatan, serta melakukan penahanan untuk mencegah hilangnya barang bukti atau terpengaruhnya saksi. Ketiga, membuka seluruh data dan fakta terkait penentuan serta distribusi kuota haji 2023 hingga 2024 kepada publik. Keempat, melakukan reformasi total tata kelola penyelenggaraan ibadah haji agar lebih transparan dan akuntabel.
Narasi yang dibangun dalam petisi ini cukup tegas. Disebutkan bahwa kebijakan kuota haji menyangkut hak beribadah jutaan umat Muslim Indonesia, sehingga setiap manipulasi atau permainan kuota adalah pengkhianatan terhadap amanah publik. Petisi tersebut juga menyoroti lemahnya transparansi dalam penetapan kuota, serta menuntut keterlibatan lembaga independen dalam pengawasan agar praktik penyalahgunaan tidak terulang.
Hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, petisi ini berhasil mengumpulkan ribuan tanda tangan. Gelombang dukungan datang dari berbagai daerah, bahkan dari warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri. Di media sosial, tautan petisi tersebut banyak dibagikan dengan tagar seperti #TangkapYaqut, #UsutKuotaHaji, dan #KPKTegas.
Lahirnya petisi ini tidak lepas dari kekecewaan publik terhadap tata kelola ibadah haji yang dianggap sarat masalah. Selama ini, setiap pengumuman penambahan kuota dari pemerintah Arab Saudi jarang disertai penjelasan rinci tentang mekanisme distribusi dan siapa saja yang diuntungkan. Bagi banyak orang, kasus ini adalah puncak gunung es dari berbagai persoalan yang selama ini hanya dibicarakan secara terbatas.
Petisi Tangkap Yaqut (Sumber : Lutfillah Ulin Nuha)
Sejumlah tokoh masyarakat dan pengamat kebijakan publik juga mengomentari langkah ini. Mereka menilai, petisi adalah bentuk tekanan moral dari rakyat kepada penegak hukum agar bertindak tegas. "Petisi seperti ini penting untuk menunjukkan bahwa publik memperhatikan kasus ini secara serius. Ini adalah sinyal bahwa kepercayaan masyarakat sedang dipertaruhkan," ujar salah satu pengamat.
Kasus kuota haji sendiri sebelumnya telah dinyatakan KPK masuk ke tahap penyidikan. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur mengatakan bahwa penyelidikan menemukan bukti awal yang cukup kuat terkait tindak pidana korupsi pada penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023 hingga 2024. Atas temuan tersebut, KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan atau Sprindik umum.