Lihat ke Halaman Asli

Luna Septalisa

TERVERIFIKASI

Pembelajar Seumur Hidup

Memahami Risiko di Balik Popularitas "Kidfluencer"

Diperbarui: 23 Juli 2021   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tren anak menjadi influencer| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Kita pasti familiar dengan anak-anak yang wara-wiri menghiasi layar kaca. Ada yang berakting dalam sinetron, film, menjadi bintang iklan, menyanyi, dan membawakan acara anak-anak.

Kemajuan zaman telah mendisrupsi dunia hiburan. Jika dulu orang yang ingin jadi artis terkenal harus ikut casting atau audisi sana-sini dan kehidupan antara sang idola dengan penggemar terasa "berjarak". Sekarang jarak antara idola dan peggemar seolah kian dekat dengan adanya media sosial. 

Kita dapat mengetahui keseharian atau kehidupan pribadi idola lewat unggahan-unggahannya di media sosial. Banyak pula dari mereka yang memanfaatkan media sosial, seperti Instagram dan YouTube, untuk mendulang cuan.

Beberapa pesohor Tanah Air bahkan kerap menjadikan kelucuan dan kepolosan anak-anak mereka sebagai bahan konten. Sebut saja Rafathar, putra Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang kesehariannya (termasuk ketika sang anak di-prank oleh orang-orang dewasa di sekitarnya) sering dijadikan konsumsi publik melalui kanal YouTube Rans Entertainment.

Hal ini membuat si anak turut mendapat sorotan dan popularitas sejak dini. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan influencer (pemengaruh) anak-anak atau lazim dikenal sebagai kidfluencer.

ilustrasi kidfluencer atau influencer anak-anak | sumber gambar: Highwaystarz-Photography/iStock via adweek.com

Mengenal Kidfluencer dan Areanya yang Abu-Abu

Kidfluencer dapat diartikan sebagai anak-anak yang memiliki banyak pengikut (followers) dan pemirsa (viewers) di media sosial dan meraup sejumlah keuntungan dari konten bersponsor.

Sebagian besar platform media sosial menerapkan batas usia minimal 13 tahun atau lebih untuk bisa punya akun pribadi. Oleh karena itu, akun-akun sosial media milik kidfluencer biasanya dikelola oleh orangtuanya.

Fenomena kidfluencer ini berada pada area "abu-abu" (grey area) antara "bekerja" atau "aktivitas biasa di rumah yang dilakukan di depan kamera lalu dijadikan konten". Karena dalam kasus kidfluencer dianggap tidak ada relasi antara "pihak yang mempekerjakan" dan "pihak yang dipekerjakan" (employer-employee relations), seperti yang terjadi pada industri hiburan yang mempekerjakan entertainer anak-anak.

Belum ada aturan yang jelas dan tegas mengatur perihal kidfluencer ini, baik itu di Indonesia maupun di luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline