Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Mengungkap Diplomasi Sosial Komunitas Arab di Semarang

Diperbarui: 26 April 2025   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://cdn2.gnfi.net/gnfi/uploads/articles/1696991880-masjid-layur-disbudpar-1-641f5a24c50bbe75db21436e7669e589.jpg

Jika berjalan di kawasan Semarang Utara, tepatnya di sekitar Kampung Melayu dan Masjid Layur, sebenarnya kita sedang menapak jejak diaspora Arab yang telah hidup dan berakar sejak abad ke-18 di kota ini.

Sekedar catatan saja sebelum cerita ini berlanjut. Kampung Melayu dan Masjid Layur masih berada di Kawasan Semarang Utara.

Namun, kawasan itu pada umumnya sekarang sudah berubah. Daerah Widoharjo, tepatnya kampung di sebelah Bank BNI 1946, tempat saya tinggal hingga 1988 dulu masih termasuk Semarang Utara. Sekarang daerah itu dimasukkan ke wilayah Semarang Timur, padahal bersebelahan dengan kawasan kota lama.

Ok kembali ke cerita ini. Selanjutnya, komunitas ini bukan hanya bagian dari keragaman etnis kota pelabuhan, tetapi juga menjadi aktor penting dalam diplomasi sosial, perdagangan, dan dinamika kekuasaan yang membentuk Semarang modern.

Komunitas Arab---terutama keturunan Hadhrami dari wilayah Hadhramaut, Yaman Selatan---datang ke Nusantara membawa lebih dari sekadar komoditas. Mereka membawa identitas, jejaring, dan legitimasi keagamaan yang memberi mereka posisi tawar dalam struktur sosial kolonial. 

Di Semarang, mereka bukan sekadar pedagang. Mereka bertindak sebagai jembatan antara Timur Tengah, Islam lokal, dan kekuasaan kolonial yang selalu waspada terhadap kekuatan jaringan lintas laut.

Keberadaan komunitas Arab di Semarang semakin menguat pada abad ke-19, seiring meningkatnya perdagangan tekstil, kapuk, dan rempah. Mereka menetap di kawasan dekat pelabuhan, membentuk lingkungan sosial sendiri yang disebut Kampung Arab atau Kampung Melayu. 

Di sini muncul bentuk diplomasi unik, yaitu negosiasi antara loyalitas religius dan realitas politik kolonial. Komunitas ini harus beradaptasi dengan sistem hukum dan pajak Hindia Belanda, sambil tetap menjaga ikatan keagamaan dan identitas diaspora yang kuat.

Menurut sejarawan Huub de Jonge, para Hadhrami di Indonesia mengembangkan strategi diplomasi yang khas. Mereka menjalin hubungan baik dengan penguasa lokal dan kolonial, sembari mempertahankan otonomi komunitas melalui lembaga pendidikan Islam, yayasan amal (wakaf), dan kepemimpinan spiritual (de Jonge, 1993). 

Di Semarang, hal ini tercermin dalam pembangunan Masjid Layur dan institusi-institusi pendidikan Islam yang bertahan hingga kini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline