Irfan menatap layar ponsel yang berkedip di tengah temaram kamar. Cahaya biru itu menari-nari di matanya, seperti bayang-bayang yang tak pernah benar-benar mati. Dunia yang ia kenal perlahan menyempit, berubah menjadi satu arena: medan perang virtual bernama Mobile Legends.Ia tak sendiri. Di luar sana, ribuan anak muda seperti dirinya sedang menukarkan waktu dengan ranking, mimpi dengan misi, dan kehidupan nyata dengan layar sentuh. Irfan tak menyadari bahwa ia sedang bergerak, perlahan namun pasti, menjauh dari dirinya sendiri."Ibu bilang, aku cerdas," gumamnya, sebelum tertidur dengan headset masih tergantung di telinga.Dan dalam tidur yang rapuh itu, ia bermimpi.Ia berada di kota yang asing namun akrab. Gedung-gedung tinggi membisu, jalanan kosong, tapi ada sesuatu yang menggeliat di udara. Di langit tergantung layar raksasa bertuliskan: "Selamat Datang di Tahun 2045."Dari balik kabut, muncullah sosok berjubah hitam, wajahnya tertutup topeng bergambar peta Indonesia. Suaranya dalam, seperti gema dari lubuk waktu."Aku adalah Hantu 2045," ucapnya.Irfan menelan ludah. "Kenapa aku?""Karena kaulah yang menunda masa depanmu. Kaulah yang membiarkan dirimu dikuasai oleh yang fana, hingga lupa pada yang hakiki.""Game itu cuma hiburan...""Hiburan adalah rehat, bukan pelarian. Ketika hiburan menjadi candu, manusia kehilangan porosnya."Hantu itu mengulurkan tangan. "Mari, ku-lihatkan padamu negeri ini... jika semua sepertimu."Mereka berjalan melewati lorong waktu. Di satu aula besar, ratusan remaja duduk kaku. Mereka memakai headset dan memelototi layar, wajah mereka kosong, jiwanya terpenjara."Generasi ini lupa membaca. Lupa menulis. Lupa berdoa. Mereka mahir menyerang, tapi lupa berpikir. Mereka ahli strategi, tapi tak kenal sejarah," ujar Hantu 2045.Irfan menunduk. Ia ingat gurunya, Bu Diah, pernah berkata, "Indonesia Emas bukan hadiah. Ia buah dari kesadaran kolektif."Dalam kilas balik, Irfan melihat Bu Diah di kelas, menjelaskan tentang karakter dan tanggung jawab di era digital. Di sebelahnya, sahabatnya Aloys menyodorkan catatan yang tertulis rapi: "Masa depan ditulis hari ini.""Kenapa aku bermimpi tentang ini?" tanya Irfan lirih."Karena jiwamu belum sepenuhnya mati."Tiba-tiba, layar raksasa menampilkan dirinya---tua, gelisah, dan menyesal. Ia hidup dalam dunia serba cepat, namun jiwanya tertinggal.Irfan terbangun. Nafasnya berat, keningnya basah. Ia melihat ponsel di lantai, mati tanpa baterai.Hari itu, ia tak membuka game. Ia membuka buku catatan. Di halaman pertama, ia menulis dengan tangan yang sedikit gemetar:'Aku memilih bangkit. Sebelum Hantu itu benar-benar datang.'Ketika ia kembali ke sekolah, ia menghampiri Aloys."Gue mau mulai lagi dari awal. Boleh pinjam catatan lo?"Aloys tersenyum. "Akhirnya lo kembali."Dan dari kejauhan, Bu Diah menatap mereka dengan harapan. Sebab dalam diri satu anak yang tersadar, tersimpan cahaya bagi negeri yang sedang mencari arah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI