Mohon tunggu...
Zidan Novanto
Zidan Novanto Mohon Tunggu... Investor

Tulisan tidak mencerminkan tempat penulis bekerja dan tidak mengatasnamakan institusi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Venezuela: Raja Minyak yang Bangkrut

25 September 2025   05:14 Diperbarui: 25 September 2025   05:14 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2017/05/02/5a9170d0-e0cb-4c10-be78-df47384c713b.jpg?w=700&q=90

Venezuela pernah dipandang sebagai negeri paling makmur di Amerika Latin. Dengan luas wilayah sekitar 916 ribu kilometer persegi dan jumlah penduduk lebih dari 28 juta jiwa, negara ini bahkan memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, mengalahkan Arab Saudi. Julukan "si paling minyak" bukan sekadar slogan, karena sejak awal abad ke-20 ekspor minyak menjadi tulang punggung ekonomi. Pada masa Hugo Chvez (1999--2013), hasil minyak dipakai untuk membiayai program sosial besar-besaran. Kemiskinan sempat menurun, rakyat merasakan subsidi pangan dan kesehatan, tetapi fondasi ekonomi semakin rapuh karena terlalu bergantung pada satu komoditas.

Tanda bahaya mulai terlihat pada 2013 ketika inflasi resmi mencapai 56 persen. Tahun itu, pemerintah bahkan memaksa toko elektronik menjual barang dengan harga murah menjelang pemilu dalam kebijakan "Dakazo", yang berujung kekosongan rak-rak toko. Tahun berikutnya, 2014, harga minyak dunia jatuh dari lebih dari 100 dolar per barel menjadi sekitar 40 dolar. Karena 90 persen ekspor Venezuela hanya minyak, keuangan negara ambruk. Inflasi melonjak ke 69 persen, devisa kering, barang pokok langka, dan protes meletus di mana-mana.

Krisis makin menjadi pada 2015--2018. Inflasi melonjak dari 181 persen hingga menembus puncak 130 ribu persen pada 2018. Bolvar kehilangan arti, warga beralih ke dolar bahkan barter untuk bertahan hidup. Perusahaan minyak negara PDVSA yang dulu jadi mesin devisa kolaps karena korupsi, mismanajemen, dan sanksi internasional. Listrik padam, obat hilang, antrean panjang untuk roti jadi pemandangan sehari-hari. Nicols Maduro yang menggantikan Chvez mempertahankan lingkaran kekuasaan sempit, menekan oposisi, dan memperkuat dinasti politik. Kekayaan minyak yang melimpah justru dipakai untuk mengamankan patronase politik, sementara rakyat terjebak dalam penderitaan.

Gelombang krisis itu memicu salah satu eksodus terbesar di kawasan. Sejak 2015 lebih dari tujuh juta warga Venezuela meninggalkan tanah airnya. Antara 2019 hingga 2022, kemiskinan multidimensi meningkat tajam, layanan dasar seperti air dan listrik hancur, dan sanksi internasional memperberat beban. Baru pada 2023--2024 inflasi turun ke kisaran 48 persen, terendah dalam 12 tahun, tetapi tetap jauh dari stabil. Produksi minyak sedikit pulih karena ada pelonggaran sanksi, namun kenyataan sehari-hari rakyat tidak berubah banyak: harga tetap tinggi, infrastruktur rusak, dan kepercayaan pada pemerintah sudah runtuh.

Kisah Venezuela adalah peringatan pahit bahwa kekayaan sumber daya alam tanpa tata kelola yang bersih bisa jadi kutukan. Dari negeri "si paling minyak", mereka jatuh ke jurang hiperinflasi, migrasi massal, dan krisis sosial berkepanjangan. Dan di sinilah letak cerminannya bagi Indonesia. Kita pun punya nikel, batubara, dan minyak. Namun pertanyaan yang tak kunjung terjawab: mengapa semua itu tidak menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat banyak? Ke mana uang-uang SDA Indonesia mengalir? Jika Venezuela runtuh karena korupsi, dinasti politik, dan ketergantungan berlebihan pada satu komoditas dan mungkin tidak mengadopsi model bisnis baru dalam menjalankan sebuah Negara. Lantas, apakah Indonesia akan bernasib sama akibat kutukan SDA tersebut? Berbenahlahh wahai pengurus Negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun