Sejak kecil kita sering diajari bahwa ayah adalah pencari nafkah, ibu adalah pengasuh utama. Budaya patriarki yang sudah lama jadi bagian dari tatanan sosial kita menetapkan skenario ini tanpa banyak pertanyaan.
Tapi, apa jadinya ketika figur ayah secara emosional atau fisik tidak hadir, sementara budaya tetap memperkuat norma bahwa ayah seharusnya hadir dengan cara yang terbatas?
Di sinilah masalah Daddy Issues memasuki ruang yang luas: bukan hanya hubungan percintaan, melainkan pembangunan emosional, sosial, bahkan identitas seseorang, dibentuk dalam bayang patriarki yang kadang tak terlihat.
Budaya Patriarki dan Kehadiran Ayah
Patriarki di Indonesia, seperti di banyak masyarakat lain, menempatkan laki-laki sebagai figur dominan dalam ranah publik dan tanggung jawab ekonomi. Peran ayah tradisional sering dibatasi pada pencarian nafkah, tanggung jawab finansial, dan "wajib hadir" dalam hal tertentu---bayar sekolah, memberikan fasilitas, ikut keputusan besar keluarga.
Namun kehadiran secara fisik saja sering kali tidak disertai kehadiran emosional: mendengarkan, membimbing, menguatkan.
Data BKKBN (2025) mengungkap bahwa sekitar 20,9 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa peran ayah yang aktif. Situasi "tanpa figur ayah yang aktif" ini disebabkan oleh berbagai faktor: perceraian, kematian, atau pekerjaan yang mengharuskan ayah tinggal jauh dari keluarga.
Sementara itu, survei BPS di waktu yang sama menemukan hanya 37,17 persen anak usia 0-5 tahun yang diasuh secara bersamaan oleh kedua orang tua kandung (detik.com).
Norma patriarki memperpanjang kesan bahwa "tidak apa-apa" jika ayah tidak ikut mengurus anak dalam keseharian, karena itu dianggap "bukan tugasnya".
Padahal, penelitian di Surabaya dengan siswi kelas 11 menemukan bahwa tingkat kepercayaan diri pada anak perempuan memiliki korelasi positif dengan peran ayah; semakin tinggi peran ayah, semakin tinggi kepercayaan diri mereka (Character, Jurnal Penelitian Psikologi).
Ini menunjukkan bahwa peran ayah jauh melampaui sekadar materi atau status sosial, tapi benar-benar memengaruhi psikologi dan kepribadian anak, khususnya perempuan.