Di balik rak-rak perpustakaan kolonial yang penuh debu, tersimpan lembaran-lembaran tua yang pernah ditulis oleh pejabat Belanda tentang tanah dan orang-orang yang mereka jajah. Salah satunya adalah catatan seorang bernama W.K.H. Ypes yang diterbitkan tahun 1907.
Ia menulis panjang lebar tentang daerah yang saat ini dikenal sebagai bagian dari Sumatera Utara, khususnya tentang masyarakat Pakpak --- satu kelompok etnis yang menjadi bagian dari rumpun Batak, namun seringkali luput dari perhatian.
Dalam tulisannya yang berjudul "Nota Omtrent Singkel en de Pak-pak Landen" dan dimuat dalam majalah kolonial Belanda Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Ypes mencoba menggambarkan wilayah Pakpak dan struktur sosialnya.
Meski ditulis dari sudut pandang kolonial, catatan ini justru menyimpan jejak penting tentang seperti apa masyarakat Pakpak menjalani hidup mereka di masa lampau.
Namun, persoalannya bukan sekadar informasi. Catatan itu perlu dibaca dengan cara yang berbeda, bukan sebagai kebenaran mutlak, melainkan sebagai potongan cerita yang bisa kita tafsirkan ulang --- agar kita tahu bahwa di balik catatan kekuasaan, ada identitas lokal yang kuat dan nyaris dilupakan.
Pakpak dalam Lintasan Wilayah dan Kekuasaan
Ypes membagi wilayah Pakpak menjadi empat lanskap utama: Pegagan, Kepas, Sim-Sim, dan Kelasan. Masing-masing wilayah ini memiliki ciri geografis dan sosial yang unik.
Pegagan, misalnya, berada di sepanjang sungai besar dan menjangkau hingga ke Danau Toba. Kepas terletak di dataran tinggi yang sejuk dan subur. Sim-Sim meliputi wilayah-wilayah yang terhubung dengan daerah Singkel Hulu, sementara Kelasan lebih terpencil dan lebih banyak berhubungan dengan Barus ketimbang wilayah Pakpak lainnya.
Keempat wilayah ini tidak terhubung dengan baik. Medan yang berat, pegunungan yang curam, dan kurangnya jalur transportasi membuat komunikasi antar kampung menjadi hal yang sulit. Akibatnya, masyarakat Pakpak tumbuh dalam sistem yang terfragmentasi namun tetap terikat oleh akar adat dan kekerabatan.
Yang menarik, Ypes mencatat bahwa meski tidak ada struktur pemerintahan terpusat seperti kerajaan, masyarakat Pakpak punya sistem kepemimpinan sendiri yang kuat. Setiap kampung (hoeta) memiliki pemimpin adat seperti pertaki (kepala kampung), bero, permangmang, dan dalam beberapa kasus poewang. Mereka bukan hanya tokoh administratif, tetapi pemegang nilai, penyambung adat, sekaligus penjaga kehormatan sosial.
Kelasan adalah wilayah yang paling unik. Di sinilah pengaruh tokoh karismatik bernama Si Singamangaradja sangat kuat. Ia dihormati bukan karena posisi politiknya, melainkan karena dianggap memiliki kekuatan supranatural dan spiritual.