Hari Peduli Sampah Nasional diperingati setiap tanggal 21 Februari sebagai refleksi atas tragedi longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat, pada tahun 2005. Insiden ini menewaskan lebih dari 140 orang dan menjadi peristiwa tragis yang membuka mata banyak pihak tentang pentingnya pengelolaan sampah yang lebih baik di Indonesia. Sejak saat itu, Hari Peduli Sampah Nasional menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah sampah dan mendorong aksi nyata dalam mengurangi, memilah, dan mengolah limbah dengan lebih bijak.
Pentingnya pengelolaan sampah bukan sekadar isu lokal, tetapi juga global. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 68 juta ton sampah setiap tahunnya, dengan sekitar 15% di antaranya merupakan sampah plastik yang sulit terurai. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 10% yang didaur ulang, sementara sisanya berakhir di TPA atau mencemari lingkungan, terutama perairan dan lautan.
Sampah tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan dan ekonomi. Sampah organik yang membusuk di tempat pembuangan dapat menghasilkan gas metana, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sementara itu, pencemaran plastik di laut telah membahayakan kehidupan biota laut dan secara tidak langsung masuk ke rantai makanan manusia dalam bentuk mikroplastik.
Dalam konteks legalistik, Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menjadi dasar hukum utama dalam pengelolaan limbah di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, memiliki tanggung jawab dalam mengelola sampah secara berkelanjutan. UU ini mengatur prinsip pengurangan sampah dari sumbernya, pengelolaan berbasis teknologi ramah lingkungan, serta penerapan ekonomi sirkular dalam sistem persampahan nasional. Dalam praktiknya, kebijakan ini mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan sistem pengelolaan sampah yang lebih terstruktur, termasuk melalui pemilahan sampah dan optimalisasi daur ulang. Namun, tantangan dalam implementasi, seperti kurangnya infrastruktur dan kesadaran masyarakat, masih menjadi kendala utama yang harus diatasi.
Sebagai bagian dari solusi, pendekatan ilmiah dalam mengelola sampah telah dikembangkan oleh para ahli. William McDonough dan Michael Braungart melalui konsep Cradle to Cradle (dari buaian ke buaian) menekankan pentingnya mendesain ulang produk agar dapat digunakan kembali atau terurai dengan aman dalam siklus biologis dan teknis. Konsep ini bertujuan untuk menghilangkan konsep "sampah" dengan memastikan semua material dapat kembali ke alam atau digunakan dalam siklus industri.
Sementara itu, Paul Connett, seorang ahli kimia lingkungan, mengembangkan teori Zero Waste, yang berfokus pada pengurangan limbah dengan cara menghilangkan produksi sampah yang tidak perlu dan meningkatkan daur ulang serta pemanfaatan kembali bahan yang ada. Menurutnya, pendekatan ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap tempat pembuangan akhir dan membantu menciptakan sistem ekonomi sirkular.
Di Indonesia, pendekatan pengelolaan sampah berbasis komunitas mulai berkembang, seperti konsep Bank Sampah yang memungkinkan masyarakat menabung dalam bentuk sampah yang bisa didaur ulang. Model ini tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.
Hari Peduli Sampah Nasional bukan sekadar peringatan, tetapi panggilan untuk bertindak. Langkah-langkah yang dapat dilakukan mencakup:
Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan beralih ke bahan yang lebih ramah lingkungan.
Memilah sampah dari sumbernya agar lebih mudah untuk didaur ulang.
Mendukung program daur ulang dan inovasi teknologi yang mengubah limbah menjadi energi atau bahan baku industri.