Lihat ke Halaman Asli

Lis Andriani

Menulis Santai, Pesan Sampai

Part 2: Reda yang Tak Selalu Pergi

Diperbarui: 4 Mei 2025   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reda yang Tak Selalu Pergi Sumber: Lis Andriani, design by canva

Pada Ia yang Tak Rindu

Alif masih terduduk di atas sajadahnya, memandangi jendela yang penuh titik-titik air. Hujan Januari belum juga reda, seakan enggan memberi ruang bagi keheningan malam.

Di luar sana, jalanan mulai basah oleh genangan, lampu-lampu kota memantulkan cahaya keemasan di permukaan air. Tapi bagi Alif, yang lebih menggenang adalah perasaannya sendiri.

Ia menarik napas, mencoba meredakan sesak di dadanya. Sudah berapa lama ia begini? Sudah berapa banyak doa yang ia kirimkan dalam malam-malam sepi, berharap seseorang di seberang sana merasakan getar yang sama?

Tapi ia tahu, harapannya hanya searah.

"Rindumu itu seperti bayangan," suara hujan kembali berbisik, "ia selalu mengikutimu, tapi tak pernah bisa kau genggam."

Alif menutup matanya. Ia ingin berhenti. Berhenti menunggu, berhenti berharap, berhenti bertanya-tanya apakah orang itu pernah, meskipun hanya sesaat, merasakan hal yang sama.

Tapi bagaimana caranya?

Ia berusaha mengalihkan pikirannya, berdiri dan berjalan ke jendela. Hawa dingin langsung menyelusup ke kulitnya. Ia membuka sedikit kaca, membiarkan aroma tanah basah masuk, membawa ketenangan yang samar.

Saat itu, samar-samar, di antara suara hujan, ia mendengar sesuatu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline