"Aku takut nolak, nanti dikira sombong."
"Aku iya-in aja deh, biar nggak ada drama."Kalau kalimat ini terdengar familiar, selamat---mungkin kamu juga korban sindrom tak enakan.
Kita hidup di masyarakat yang sangat menghargai kesopanan, tenggang rasa, dan kebersamaan. Nilai-nilai itu indah, bahkan menjadi bagian dari identitas kita sebagai orang Indonesia. Namun di sisi lain, budaya ini tanpa sadar juga menciptakan tekanan sosial: kita diajarkan untuk mengutamakan kenyamanan orang lain, bahkan jika itu berarti mengorbankan diri sendiri.
Budaya "nggak enakan" yang diwariskan turun-temurun
Sejak kecil kita diajarkan, "jangan bikin orang lain kecewa", "jangan nolak rezeki", "nggak sopan nolak permintaan orang tua." Pesan moral itu membentuk generasi yang penuh empati tapi juga generasi yang sering memendam perasaan.
Kita takut membuat orang lain tidak nyaman, jadi kita rela menunda keinginan sendiri. Takut dibilang sombong, jadi kita terus mengiyakan hal-hal yang seharusnya bisa ditolak. Akhirnya, kita hidup di antara dua ketakutan: takut mengecewakan orang lain dan takut kehilangan diri sendiri.
Contohnya sederhana: teman minta tolong padahal kita lagi lelah, tapi tetap dijalankan. Diajakin nongkrong padahal ingin istirahat, tapi tetap datang karena takut dibilang "nggak asik." Di kantor, rekan kerja minta bantuan di luar tanggung jawab kita, dan dengan senyum terpaksa kita jawab, "boleh kok."
Begitulah, sedikit demi sedikit, energi kita terkuras bukan oleh pekerjaan, tapi oleh keharusan untuk selalu menyenangkan semua orang.
Kelelahan emosional yang tak terlihat
Menariknya, sindrom tak enakan ini sering tidak terlihat dari luar. Orang yang mengalaminya justru tampak paling ramah, paling bisa diandalkan, dan paling "baik." Tapi di balik keramahan itu, sering tersimpan rasa lelah yang dalam, lelah karena tidak punya ruang untuk jujur pada diri sendiri.
Dalam psikologi, perilaku ini dikenal sebagai people pleasing behavior.
Penelitian oleh Flett dan Hewitt (2016) menyebut bahwa people pleaser memiliki kecenderungan perfeksionisme sosial --- merasa harus selalu tampil menyenangkan agar diterima. Akibatnya, mereka cenderung menyembunyikan emosi negatif dan mengalami tingkat stres serta kelelahan emosional lebih tinggi dibanding orang lain.