Lihat ke Halaman Asli

Leya Cattleya

TERVERIFIKASI

PEJALAN

Indonesia Kesulitan Hapus Kemiskinan dan Capai SDGs?

Diperbarui: 19 Juli 2019   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mama mama penjual sayur di Papua (Dokumentasi Pribadi)

Perdebatan Menyoal Data Kemiskinan
Minggu ini, di kala saya sedang banjir PR laporan pekerjaan, banjir pula berita hangat (dan penting) di media masa. Soal pertemuan romantis Jokowi dan Prabowo di MRT, yang dilanjut pesta rakyat dengan Visi Indonesia yang dikumandangkan di Sentul International Convention Center.

Selanjutnya, soal data kemiskinan dari BPS yang menunjukkan sulit turunnya kasus kemiskinan. Pidato Menkeu Sri Mulyani atas pertanggungjawaban Pengeluaran APBN, dan beredarnya notulensi (hoaks ?) susunan Kabinet yang akan datang.

Ini membuat saya gemas. Ingin banyak menulis. Apa daya, target selesaikan laporan tidak bisa ditunda. Ini berkait dengan jadwal donor pembangunan yang juga bersegera hendak membangun relevansi agenda kerja sama dengan prioritas RPJMN 2020 -- 2024.

Diskusi saya soal data kemiskinan muncul ketika saya dibagi kliping koran Republika terbitan 15 Juli 2019 tentang Data Kemiskinan oleh seorang sahabat. Ini dipicu oleh kegalauan beberapa kawan karena ada artikel yang menyebut bahwa data kemiskinan BPS tidak benar, dan kita hadapi kesulitan menurunkan kemiskinan. Lalu, ada yang menyebut bahwa artikel itu tidak pas. 

Ketika saya mengomentari artikel itu dari kaca mata ekonomi, sahabat saya segera katakan dengan bergurau "Kamu tidak dukung Jokowi lagi". Nah ini. Saya katakan bahwa saya melihat persoalan dari kacamata seorang ekonom. Saya juga katakan bahwa saya pernah berkutat di urusan structural adjustment.

Oops, saya lupa bahwa di mata kawan saya dan mungkin di jejak kerja saya dianggap jauh dari kerja seorang ekonom. Baru saya sadari, saya mungkin ekonom murtad, ekonom keblinger, atau malah ekonom picisan. Padahal selama bertahun tahun, pekerjaan saya sebagai ekonom. Hiks. 

Saya sampaikan kepada sahabat saya bahwa isu dan data kemiskinan kita memuat banyak PR. Soal data memang perlu didiskusikan. Sementara, Indonesia sendiri punya persoalan kompleks. Pemecahan persoalan kemiskinan sendiri tidak bisa dijawab dengan business as usual.

Terobosan yang dilakukan dengan berbasis pengetahuan pembangunan perlu ada. Saya selalu pikir 'harus gila' kalau hendak berhasil. Untuk itu, kita harus (tetap) dukung pemerintah, dengan apa yang bisa kita bantu. Ini termasuk menyampaikan pemikiran, berikut saran yang membangun, bila dibutuhkan. Nyinyir tidak ada artinya. 

Akhirnya, saya tulis artikel ini, dalam bahasa ekonom picisan. Mohon maaf bila anda tertidur di tengah paragraf.

Data Kemiskinan, Situasi dan Stuktur Ekonomi Indonesia
Kita harus akui, berkat pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% dan atas kebijakan pemerintah yang kondusif, maka tingkat kemiskinan Indonesia bisa diturunkan. Data BPS tunjukkan penurunan dari angka kemiskinan di atas 25% di tahun 1998 ke angka 9,41% di 2019. Signifikan!

Angka kemiskinan ini kita hitung dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu mereka yang masih memiliki pendapatan di bawah 1 dollar Amerika per hari.  Pada bulan Maret 2019, BPS melaporkan bahwa Garis Kemiskinan itu tercatat pada Rp425.250 pendapatan perkapita per bulan. Ini valid karena indikator ini dipakai di seluruh dunia. Sebagai indikator kemiskinan yang dipakai untuk keperluan politik, saya kira wajar saja angka itu muncul. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline