Pagi di jalur Depok-Bogor selalu dimulai dengan paduan suara khas perkotaan: deru mesin, klakson bersahut-sahutan, dan kepulan asap yang menari di udara. Mobil pribadi, angkot, dan bus saling berebut ruang di jalanan yang terasa makin sempit. Sore hari pun sama saja-hanya beda arah, sama-sama padat dan melelahkan.
Kalau ada cara lebih cepat, lebih murah, dan lebih nyaman... kenapa harus terjebak di jalan?
Saya sudah 28 tahun menjadi anak kereta-sebutan untuk mereka yang menjadikan KRL sebagai teman setia perjalanan. Dari kursi kereta ekonomi, kipas angin di langit-langit gerbong, sampai Commuter Line yang ber-AC dan ber-aturan rapi, saya ikut menyaksikan perubahan besar di atas rel. Walau sejak bekerja di luar Pulau Jawa rutinitas naik kereta tak lagi saya jalani setiap hari, rasa "pulang" itu tetap muncul setiap kali kaki menginjak peron dan suara khas roda besi mengalun di telinga.
Masa Lalu - Pilihan Transportasi Mahasiswa Depok--Bogor
Di era awal kuliah, pilihan transportasi terasa seperti ujian kesabaran. Opsi pertama: Kopaja atau angkot. Tarifnya memang ramah di kantong mahasiswa, tapi imbalannya adalah perjalanan panjang penuh drama-macet berjam-jam, panas, debu, dan kadang penumpang harus duduk berdempetan sambil memeluk tas erat-erat.
Opsi kedua: kereta. Tarifnya mirip-mirip dengan angkot, tapi waktu tempuh jauh lebih singkat. Kekurangannya? Kenyamanan masih ala kadarnya. Tiket kertas harus dibeli langsung di loket, antreannya bisa mengular panjang. Kalau datang sedikit terlambat, siap-siap berdiri selama perjalanan sambil bergoyang mengikuti ritme rel.
Meski begitu, bagi saya yang setiap hari menempuh rute Depok-Bogor, kereta selalu jadi pilihan utama. Waktu yang dihemat bisa dipakai untuk membaca buku kuliah, mengulang catatan, atau sekadar memejamkan mata sebelum perkuliahan dimulai. Dan jujur saja, ada kepuasan tersendiri saat bisa melangkah keluar stasiun lebih cepat dibanding teman yang masih terjebak di jalan.
Transformasi Commuter Line
Perjalanan puluhan tahun di atas rel membuat saya menyaksikan sendiri metamorfosis besar KRL di Jabodetabek. Dulu, gerbong berwarna kusam dengan kursi ala kadarnya. Pendingin ruangan? Hanya kipas angin yang berputar pelan di langit-langit, cukup untuk mengusir panas seadanya.
Lalu datanglah era Commuter Line-kereta ber-AC, pintu otomatis, dan interior bersih. Sistem pembayaran pun berubah total. Dari tiket kertas yang rawan basah terkena hujan atau lecek di saku, menjadi kartu elektronik yang cukup ditempel di gerbang masuk.
Perubahan ini bukan cuma soal fisik gerbong, tapi juga ritme kehidupan para penumpang. Jadwal lebih tepat waktu, waktu tunggu lebih singkat, dan kepadatan lebih tertata.
Bagi saya, transformasi ini ibarat naik kelas: dari sekadar moda transportasi, kereta menjadi simbol kemerdekaan mobilitas perkotaan-bebas dari macet, bebas dari jadwal yang kacau, dan bebas dari biaya transportasi yang mencekik.