Lihat ke Halaman Asli

Kholid Harras

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Bara di Senayan: Antara Ketulusan Rakyat dan Rekayasa Operasi

Diperbarui: 2 September 2025   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa Demo di Depan DPR, Bakar Ban Hingga Corat-Coret Pagar 

Demo besar di Senayan, 25 Agustus 2025, sekilas tampak seperti ledakan spontan kemarahan rakyat. Isu tunjangan DPR yang dianggap berlebihan memang dengan mudah mengusik rasa keadilan publik. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, ada pola-pola yang menunjukkan bahwa peristiwa itu bukan sekadar ekspresi organik rakyat, melainkan bagian dari operasi informasi yang rapi dan terstruktur.

 

Isu yang Ditanam, Emosi yang Dikobarkan

Fase pertama terlihat dari bagaimana isu tunjangan DPR dilemparkan ke ruang publik. Potongan video, infografis emosional, hingga narasi penuh kemarahan menyebar cepat melalui kanal-kanal digital. Sumber awalnya nyaris tak terlacak, tetapi ritmenya seragam. Inilah tanda klasik dari operasi proksi: aktor utama tidak tampil ke depan, melainkan bersembunyi di balik jaringan perantara.

Fase kedua adalah framing dan agitprop. Isu tunjangan yang sejatinya bisa dibahas dalam kerangka data dan kebijakan dipelintir menjadi narasi ideologis. DPR diposisikan sebagai perampok uang rakyat, sebagai elite yang berpesta di atas penderitaan warga. Bahasa emosional digunakan sebagai bahan bakar agitasi, mendorong publik masuk ke kondisi psikologis yang mudah digerakkan.

Dari Dunia Maya ke Jalan Raya

Fase ketiga, mobilisasi terselubung, menjembatani ruang digital dan ruang fisik. Seruan turun ke jalan mulai bertebaran dari akun tanpa identitas, kelompok kecil yang mendadak muncul, hingga organisasi baru yang tidak jelas asal-usulnya. Teknik ini mirip operasi bendera palsu---seolah suara rakyat biasa, padahal ada tangan bayangan yang mengatur orkestrasi.

Ketika massa sudah terkumpul, fase keempat dijalankan: provokasi lapangan. Agen-agen disisipkan untuk memperkeras suasana, menciptakan insiden kecil, membakar simbol, atau sekadar menghadirkan visual dramatis yang pasti viral di media sosial. Ini bukan sekadar keributan, melainkan bagian dari perang psikologis---ditujukan bukan hanya pada aparat yang menghadapi massa, melainkan juga pada publik luas yang menyaksikan dari layar gawai.

Propaganda dan Delegitimasi

Fase terakhir adalah propaganda balik. Rekaman kericuhan, slogan yang keras, dan narasi rakyat melawan DPR disirkulasikan ulang dengan masif. Isu tunjangan yang awalnya menjadi pemantik sudah tenggelam. Narasi utama bergeser: DPR dianggap tidak sah, dan pemerintah pun ikut terseret dalam pusaran delegitimasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline