Lihat ke Halaman Asli

Dendam Singhasari: Api Terakhir Majapahit [10-10]

Diperbarui: 12 September 2025   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi by ai/kam

OLEH: Khoeri Abdul Muid

[WARISAN DAN DENDAM BARU]

Bulan-bulan berlalu sejak penobatan. Majapahit perlahan tapi pasti mulai menanggalkan kulitnya sebagai permukiman darurat. Di bawah komando Prabu Kertarajasa Jayawardhana, pembangunan berjalan dengan cepat dan terencana. Jalan-jalan mulai dibangun, saluran air diperbaiki, dan pasar-pasar ramai dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru. Wibawa kerajaan baru ini mulai diakui, bahkan oleh kerajaan-kerajaan tetangga yang awalnya meragukan.

Namun, di balik kemakmuran yang mulai tumbuh, ancaman-ancaman lama belum sepenuhnya hilang. Seperti duri dalam daging, sisa-sisa pasukan Mongol di pesisir utara masih menjadi masalah yang harus diselesaikan.

"Laporan terakhir dari Tuban, Paduka," lapor Nambi dalam sebuah pertemuan dewan terbatas. "Pasukan Mongol yang tersisa semakin terdesak. Seperti yang Paduka perintahkan, kita telah memutus jalur logistik mereka. Mereka kelaparan, terjangkit penyakit, dan mulai bertengkar antar sendiri. Beberapa kapal mereka telah mencoba berlayar pulang, tetapi terdampar di laut atau dihadang badai."

"Biarkan alam yang menyelesaikan masalah mereka," gumam Prabu Kertarajasa, menatap peta di hadapannya. "Kubilai Khan terlalu sibuk dengan pemberontakan di negerinya sendiri untuk mengurus sisa-sisa pasukan yang terdampar di ujung dunia. Dalam setahun, nama Mongol akan menjadi cerita seram yang diceritakan ibu-ibu pada anaknya untuk membuat mereka tidur, bukan lagi ancaman yang nyata."

Keputusan untuk tidak menghabisi mereka dengan kekerasan langsung terbukti efektif. Perlawanan Mongol punah dengan sendirinya tanpa menghabiskan sumber daya Majapahit.

Namun, bukan berarti semua masalah selesai. Ancaman justru datang dari dalam.

Arya Wiraraja, yang telah diberi kekuasaan atas timur dan berkedudukan di Lumajang, mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Meski secara lahiriah tetap setia, surat-suratnya yang rutin datang mulai terasa berisi desakan dan tuntutan. Dia meminta lebih banyak otonomi, lebih banyak pasukan, dan lebih banyak hak atas pajak dari wilayahnya.

"Dia mulai merasa menjadi raja kecil, Paduka," Lembu Sora menggerutu setelah salah satu surat Wiraraja dibacakan. "Kita harus mengingatkannya bahwa dia hanyalah bawahan. Izinkan saya membawa beberapa pasukan ke Lumajang, 'mengunjungi' dia."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline