Lihat ke Halaman Asli

Kesalahan: Gak Semuanya Harus Dikoreksi

Diperbarui: 7 Mei 2023   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: Private Document

Hallo, Standardized People! Ketemu lagi dikonten MiniSAK part terakhir buat topik PSAK 25. Hari ini kita akan belajar tentang kesalahan. Setiap orang pasti pernah bikin salah kan? Iyalah manusiawi banget! Karena akuntan juga manusia, jadi pasti pernah dong bikin kesalahan. Kesalahan itu bisa timbul di setiap tahapan penyusunan laporan keuangan, kayak di tahap pengakuan, pengukuran, penyajian, atau pengungkapan. Adanya suatu kesalahan yang sifatnya material (besar dan pervasif) maupun tidak material secara disengaja akan nyebabin laporan keuangan yang tersaji tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017: 25-7). Pertanyaannya, kalo kalian bikin salah, apa yang bakal kalian lakuin? Betolll... Jawabannya adalah minta maapp! (Dosen be like: Nyesel gua nglulusin nih anak!)

Hehe... Canda kok, Bu. Peace. Gak bole ges yakk... Kalo akuntan salah tuh ga bole cuman minta maap doank. Di akuntansi dasar, kita belajar kalo setiap bikin kesalahan, kita harus betulin pake yang namanya jurnal koreksi. Tapi, kalo di akuntansi keuangan menengah, kita belajar kalo gak semua kesalahan itu harus dikoreksi. Hah, kok gitu ce? Aku mau kasih perumpamaan gini deh. Standardized People pernah nggak pas kecil mainan kutu loncat sama plastisin? Yang jawab gak berarti kalian MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia). Kalo kalian maen kutu loncat kan harus kalian pencet tuh mainannya terus kalian taruh disuatu tempat, dan boom! Beberapa detik kemudian si kutu loncat bakalan "ngloncat" dan balik ke bentuk semula. Beda sama plastisin. Kalo plastisin kalian pencet, plastisinnya bakal mbentuk cekungan. Mau kalian tunggu ampe kiamat sekalipun ya kaga bakal balik ke bentuk semula, kecuali kalo kalian bentuk ulang plastisinnya.

Sampe sini, udah kebayang belom perumpamaan tadi buat apaan? Yes... Kita akan ngebahas tentang counterbalancing dan non-counterbalancing. Peristiwa countrabalancing tadi aku analogiin pake mainan kutu loncat. Kalian mencet si kutu loncat dan beberapa saat kemudian, dia udah bisa balik sendiri ke bentuk semula. Sama kek kesalahan counterbalancing, kesalahan diperiode ini bakalan ketutup otomatis diperiode berikutnya. Misalnya aja pas mau tutup buku, kita lupa bikin jurnal penyesuaian beban gaji yang masih harus dibayar. Jadinya kan saldo beban gaji kita kurang saji di periode ini. Karena beban nutupnya ke ikhtisar laba rugi, maka saldo ikhtisar laba rugi kita jadi lebih saji dan otomatis saldo laba ditahan juga lebih saji. Next, ditahun berikutnya saldo beban gaji kita akan lebih saji. Gantian ikhtisar laba rugi dan laba ditahan yang akan kurang saji. Wait, Ce.... Kok bisa ditahun selanjutnya beban gaji jadi lebih saji? Iyaa soalnya kan si beban gaji ini harusnya kan udah diakui ditahun sebelumnya, terus ditransfer ke akun utang gaji buat dibawa ke tahun depan. 

Tapi, karena kita lupa enggak bikin jurnal penyesuaian, jadinya gitu deh... Kita baru ngakuin beban gajinya ditahun depan. Nah coba  kalian lihat deh, diantara dua tahun itu akun-akun yang terpengaruh kan sama aja, ada akun beban gaji, ikhtisar laba rugi, dan laba ditahan. Bedanya cuma di posisi lebih saji atau kurang saji, di kedua tahun itu, posisinya saling berkebalikan. Ambil contoh beban gaji ya, ditahun pertama kurang saji, ditahun kedua lebih saji. Nah, berarti kan posisi akun beban gaji diawal tahun ketiga udah bener. Kurang saji ditahun pertama akan di offset oleh lebih saji ditahun kedua. Itulah namanya counterbalancing. Jadi, syarat pertama counterbalancing itu jumlah tahunnya harus genap. Harus banget, Ce? Iyaa harus banget, kalo misal jumlah tahunnya ganjil gimana dong cara ngoffsetnya, hayoo...

Tapi, nggak pasti semua kesalahan yang jumlah periodenya genap itu bakal counterbalance. Ada dua kondisi yang nyebabin hal ini. Yang pertama emang belom counterbalance aja. Counterbalance terjadi kalo misalnya ditahun berikutnya kita udah nutup buku. Nah, gimana kalo belum tutup buku? Yahh... Ditunggu aja gess ampe tutup buku kan enak tuh gausah ribet-ribet bikin jurnal koreksi wakakkaka... Ehh! Kok tiba-tiba jadi dingin gini ya hawanya? Kalian ngrasain juga gak sih? Apa aku doang?! (Dosen: Masih saya pantau -_-). Hmm... Nggak gitu kok ges. Jadi kalo belum counterbalance ya tetep harus kita koreksi. Ga bole males ihh bikin jurnal koreksi.

Next kita lanjut ke kondisi kedua. Dalam kasus ini ya emang nggak akan pernah terjadi counterbalance atau bisa counterbalance tapi perlu nunggu lebih dari dua periode. Kita kenal kondisi ini sebagai non-counterbalancing. Misalnya perusahaan beli mesin, harusnya kan kita nyatet kapitalisasi aset mesin pas pembelian dan nyatet beban penyusutan tiap taunnya. Nah, tapi pas itu kita malah nyatetnya sebagai beban mesin. Jadi tiap taunnya gaada beban penyusutan yang diakui. Bisa dibayangin kan? Karena akunnya aja udah beda banget, yang satu nyatetnya sebagai aset dan ada penyusutannya, nah yang satu malah nyatet sebagai beban mesin dan nggak ngakuin penyusutan. Ini mau ditungguin ampe kapanpun nggak akan pernah saling offset.

Kalo kasusnya non-counterbalancing, kita harus gimana, Ce? Ya mau nggak mau harus dikoreksi, sama kek kasusnya yang belum counterbalance tadi. Koreksi ini bisa terjadi sebelum tutup buku sama sesudah tutup buku. Kalo sebelum tutup buku, semua akun nominal kek pendapatan atau beban bakal ditulis sesuai namanya. Masih pake contoh tadi yang pembelian mesin dicatet sebagai beban mesin, misal kita lakuin koreksi, maka kita buat jurnal mesinnya didebit dan beban mesin dikredit, buat mindahin saldonya dari beban ke aset. 

Disamping itu, kita juga harus bikinin jurnal penyusutannya, yaitu beban penyusutan pada akumulasi penyusutan. Beda lagi kalo misalkan kita udah nutup buku. Tiap tutup buku, semua akun nominal harus ditutup ke akun akun riil, jadi semua pendapatan dan beban akan ditutup ke laba ditahan. Jadi, kalo salahnya ketahuan setelah tutup buku, maka kita harus bikin jurnalnya dengan mendebit mesin dan mengkredit laba ditahan. Buat nyatet penyusutannya, kita udah ga bole bilang beban penyusutan, tapi harus catet laba ditahan pada akumulasi penyusutan. Gimana, pahamkan?

Tapi guys, walaupun judul konten ini tuh nggak semua kesalahan harus dikoreksi, bukan semata-mata kita ngebiarin laporan keuangan tahun sebelumnya tetep salah. Maksudku adalah nggak disetiap kasus kesalahan, kita harus bikin jurnal koreksi. Cukup dikesalahan yang sifatnya belum counterbalance atau noncounterbalancing aja kita wajib bikin.

Sebagai akuntan, kita punya tugas buat nyajiin laporan keuangan sebagai dasar pembuatan keputusan. Laporan keuangan yang kita sajiin ini nanti akan dianalisis dan dibandingin dari tahun ke tahun oleh investor dan kreditor. Kalau laporan keuangan ini harus diperbandingin, otomatis kan kita nggak mungkin nyajiin informasi yang salah di periode sebelumnya. Nah, makanya kita harus tetep nglakuin penyajian ulang laporan keuangan, jika terdapat kesalahan yang belum dikoreksi di periode sebelumnya (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017: 25-7). Koreksi kesalahan dilakukan melalui penerapan retrospektif. Aspek tentang ketidakpraktisan koreksi kesalahan sama aja kayak yang diterapin di perubahan akuntansi. Jadi kalo lupa bisa liat di konten part 1 yah (cutt.ly/PSAK25Part1).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline