Lihat ke Halaman Asli

Kayla Ramadhani

Universitas Indonesia

Peran Perspektif Orientalisme dalam Membentuk Narasi Konflik Palestina-Israel di Jalur Gaza

Diperbarui: 4 April 2025   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perang Gaza merupakan konflik panjang antara Palestina dan Israel yang masih belum dapat diselesaikan hingga saat ini. Konflik tersebut menjadi salah satu konflik kompleks dan kontroversial dalam masyarakat karena melibatkan berbagai aspek kehidupan, seperti agama, politik, sosial, dan budaya. Tidak hanya itu, konflik juga melibatkan banyak warga sipil yang menjadi korban, termasuk perempuan dan anak-anak, serta negara Arab sekitarnya.


Media memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi konflik kepada masyarakat luas. Namun, konflik sensitif memberikan kemungkinan bagi beberapa media untuk dipengaruhi oleh kepentingan politik, ideologi, dan pandangan bias (Ramadani, 2024). Faktor tersebut akan memicu ketegangan konflik ini dengan memengaruhi cara pandang, memperkuat stereotip dari Barat terhadap Timur, hingga menghasilkan mispersepsi masyarakat dalam melihat konflik Palestina-Israel.


Konflik Palestina-Israel dimulai oleh umat Yahudi berdatangan ke Palestina sebagai tanah yang sudah dijanjikan kepada mereka. Gerakan Zionisme meminta bantuan kepada negara adidaya, seperti Inggris, untuk mengambil alih tanah Palestina. Inggris melihat bahwa Zionisme dapat menjadi alat Inggris untuk memenangkan perang dan menginvasi Palestina. Pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, menandatangani Deklarasi Balfour yang mendukung dan memfasilitasi umat Yahudi untuk mendirikan tempat tinggal di Palestina.


Sejarah Peristiwa Nakba 1948
Pembersihan etnis (Nakba) merupakan salah satu metode Yahudi untuk mengusir masyarakat Palestina dan membangun negara Israel. Pada tahun 1948, Peristiwa Nakba menjadi salah satu titik peningkatan ketegangan konflik. Zionisme mulai berkembang dan melakukan intimidasi, gelombang migrasi massal umat Yahudi akibat peristiwa Holocaust, hingga proklamasi kemerdekaan di Tel Aviv. Hal ini membuat Yahudi telah menguasai 78% wilayah Palestina, termasuk 24% wilayah yang ditetapkan PBB (Amelia, 2012). Sementara itu, 22% lainnya di bagian Tepi Barat dan Jalur Gaza masih dimiliki oleh Palestina walaupun terkepung oleh Zionis.


Pasukan Zionisme menghancurkan sekitar 500 desa dan kota kecil dalam upaya merebut wilayah Palestina. Sementara itu, sekitar 750.000 warga Palestina telah diusir dari tempat tinggal mereka dan melarikan diri ke negara tetangga, seperti Lebanon, Yordania, Suriah, dan Mesir. Warga Palestina hidup dalam penindasan dan menyaksikan negara mereka dihancurkan oleh pendatang.


Perspektif Orientalisme (Edward Said)
Dalam bukunya yang berjudul Orientalism, Edward Said mengkritik persepsi Barat terhadap Timur yang bias, menyimpang, dan berbanding terbalik dari keadaan sesungguhnya. Istilah oriental dikembangkan oleh Barat untuk mempertahankan dominasinya sebagai wilayah yang civilized. Hal ini menciptakan stereotip bahwa Timur merupakan "the Other" karena dianggap tidak memiliki kedalaman historis dan bergantung pada Barat dalam seluruh aspek kehidupan.


Edward Said juga mengatakan bahwa Barat seringkali mengendalikan penyebaran ilmu pengetahuan, tanpa mempertimbangkan realitas keberagaman budaya di wilayah Timur. Kondisi tersebut dapat terlihat pada narasi media Barat dalam memberikan persepsi yang tidak sesuai terhadap agama Islam. Akibatnya, konflik Palestina-Israel dilihat oleh masyarakat internasional sebagai konflik antara dua keyakinan.


Selain itu, Said juga menekankan bahwa media berperan penting dalam mempertahankan persepsi Barat terhadap Timur. Media bukan hanya sekadar penyebar informasi, melainkan juga sebagai alat untuk membentuk opini global terhadap suatu fenomena. Pada 9 Oktober 2023, Israel melakukan penyerangan brutal terhadap Jalur Gaza. Akan tetapi, berita yang tersebar dalam masyarakat menunjukkan perilaku bias dan menyesatkan, terutama media Barat.


Jurnalis dari media terkemuka Barat mengungkapkan bahwa terdapat standar ganda dan pelanggaran prinsip jurnalistik karena keberpihakan media terhadap Israel (Tempo.co, 2024). Mereka menerbitkan berita yang meremehkan serangan Israel, sehingga dapat membantu penyebaran propaganda Israel. Perilaku media Barat telah menunjukkan bahwa mereka tidak menyoroti tanggung jawab Israel terhadap warga sipil.


Ketika serangan Israel terkena warga sipil, beberapa media membuat narasi bahwa target utama adalah Hamas. Hal ini menghasilkan berita tidak empiris dan kurangnya akuntabilitas media Barat. Tindakan media Barat berakar dari dehumanisasi warga Palestina. Ketimpangan ini terlihat dari laporan kematian anak-anak di Jalur Gaza yang diabaikan oleh beberapa media.


Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 memakan korban sekitar 1.300 jiwa Israel dan menjadi hari mematikan Israel selama 75 tahun berkuasa di wilayah Palestina. Netanyahu melihat serangan ini sebagai tindakan perang, sehingga Israel membalas dengan penyerangan Masjid, penghancuran bangunan tempat tinggal, hingga pengepungan total pada 9 Oktober 2023. Israel melakukan pemboman setiap malam, sehingga tidak ada ruang aman bagi warga Palestina.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline