Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Polemik Penulisan Sejarah Ulang, Apa yang Harus Dilakukan?

Diperbarui: 26 Mei 2025   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sejarah bukanlah sesuatu yang telah berlalu, melainkan sesuatu yang masih ada." (Dok. Kompas.com)

"Sejarah bukanlah sesuatu yang telah berlalu, melainkan sesuatu yang masih ada." ,  Apa yang Harus Dilakukan?

"Jangan sekali-kali melupakan sejarah" – Soekarno

Oleh Karnita

Pendahuluan: Ketika Masa Lalu Kembali Disorot

Sejarah bukan sekadar cerita masa silam, tetapi juga fondasi identitas bangsa. Maka, ketika pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan rencana penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI), publik pun riuh. Di satu sisi, urgensinya tak terbantahkan—versi terakhir yang termuat dalam SNI Jilid 6 bahkan belum menyentuh era reformasi secara memadai. Di sisi lain, bayang-bayang kepentingan politik dan tafsir tunggal membuat publik waswas.

Muncul pula kekhawatiran akan narasi yang dikendalikan, terlebih ketika Fadli menyebut penulisan ini akan menghadirkan perspektif "Indonesia sentris". Tujuan ini baik, namun rentan ditarik menjadi alat legitimasi negara untuk menyaring narasi yang tak sesuai kehendak penguasa. Kekhawatiran itu kian menguat ketika istilah “sejarah resmi” mulai muncul, disusul reaksi kritis dari kalangan sejarawan, anggota dewan, hingga koalisi masyarakat sipil.

Dalam konteks inilah, penting bagi kita untuk mengupas polemik penulisan ulang sejarah nasional ini secara jernih: mengapa hal ini penting, apa yang dipermasalahkan, dan bagaimana seharusnya langkah ideal dilakukan?

1. Urgensi Pembaruan Sejarah: Dari Kekosongan Data ke Ketertinggalan Narasi

"Sejarah bukanlah sesuatu yang telah berlalu, melainkan sesuatu yang masih ada." – William Faulkner

Fadli Zon menyebut bahwa buku SNI terakhir hanya memuat sejarah hingga era BJ Habibie, bahkan pemilu 1999 pun absen. Ini adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. Generasi muda Indonesia kini tumbuh tanpa referensi sejarah resmi tentang Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Jokowi dalam satu narasi historis utuh. Padahal, periode ini mencakup reformasi politik, pergeseran ideologi, hingga dinamika HAM yang signifikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline