Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Kartini dan Enam Buku yang Menyalakan Lentera Kesadaran

Diperbarui: 20 April 2025   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku membaca, karena aku ingin mengerti. Aku mengerti, karena aku ingin menjadi lebih dari sekadar perempuan bumiputera yang patuh." (Meta AI)

Kartini dan Enam Buku yang Menyalakan Lentera Kesadaran

"Aku membaca, karena aku ingin mengerti. Aku mengerti, karena aku ingin menjadi lebih dari sekadar perempuan bumiputera yang patuh." — (Surat Kartini, 1901)

Oleh Karnita

Pendahuluan

Setiap kali bulan April tiba, nama Kartini kembali menggema. Ia diperingati di sekolah-sekolah, dikenang dalam lomba kebaya, hingga dinobatkan sebagai pahlawan emansipasi. Namun, di balik foto hitam putihnya yang bersahaja, tersimpan sosok perempuan muda yang tajam, kritis, dan berpikiran bebas. Kartini adalah pembaca yang rakus—dan karena membaca, ia menulis, dan karena menulis, ia dikenang.

Tak banyak yang menyadari bahwa surat-surat Kartini yang termasyhur itu sesungguhnya hanya ujung dari gunung es. Di bawahnya, tersembunyi tumpukan bacaan yang ia lahap diam-diam dari kotak ayahnya. Ia membaca dalam diam, merenung dalam gelisah, dan berpikir dalam sunyi. Bacaan-bacaannya bukan sembarang buku. Di dalamnya, terdapat teriakan perlawanan, renungan feminis, sampai pergulatan batin seorang perempuan dalam kungkungan sistem feodal yang menjerat peran dan pilihan hidupnya.

Tulisan ini lahir dari kehendak untuk kembali menengok lemari pikiran Kartini—melalui enam buku yang pernah membentuk kesadarannya. Gagasan ini juga diinspirasi oleh laporan yang ditulis Dendy Ramdhani dan dimuat di Kompas.com pada 20 April 2025, yang memuat daftar bacaan Kartini mulai dari Multatuli hingga sosialisme. Sebuah catatan yang memperlihatkan, bahwa emansipasi yang diperjuangkan Kartini bukan datang dari langit, melainkan dari perjumpaan sunyi yang mendalam dengan ide-ide subversif. Kartini adalah perempuan yang membaca zaman—dan dari sana, lahirlah keberanian untuk mengubahnya.

1. Minnebrieven: Surat-Surat Cinta yang Membuka Luka Bangsa

Di balik kata "cinta", terungkap duka panjang sebuah penjajahan.

Multatuli menulis Minnebrieven (1861) sebagai tindak lanjut emosional dari Max Havelaar. Namun kali ini, ia berbicara dari ruang batin yang lebih personal—melalui surat cinta yang menggugat kemunafikan dan kekejaman kolonialisme. Buku ini menyuarakan derita dan dilema moral yang dialami oleh seorang Belanda yang jujur namun terkekang sistem kolonial. Bagi Kartini, Minnebrieven adalah lentera yang memperjelas wajah penindasan yang selama ini ia rasakan namun belum bisa rumuskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline