Lihat ke Halaman Asli

Halal Bihalal; Silaturahmi Sarat Hikmah Bernilai Sunah

Diperbarui: 2 Oktober 2018   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah Halal Bihalal

Penjelasan tentang halal bihalal  tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Meskipun berasal dari kata dalam bahasa Arab, namun orang Arab sendiri bisa jadi tidak paham dengan istilah itu, karena Istilah itu memang khas Indonesia yang tidak berdasarkan gramatikal tata bahasa Arab yang benar.  Secara umum pengertian halal bihalal adalah acara silaturahmi yang dilaksanakan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan dengan kegiatan inti saling bermaaf-maafan yang diselingi ceramah agama.

Secara historis istilah halal bihalal digagas oleh Kiai Wahab, salah seorang ulama perintis Nahdahtul Ulama (NU), yang ditawarkan kepada Bung Karno dalam rangka rekonsiliasi para elit ditengah konflik yang sedang melanda bangsa Indonesia di tahun 1948. Tujuannya adalah agar mereka mau berkumpul, saling maaf-memaafkan dan menyatukan pandangan dalam berbangsa dan bernegara.

Halal bihalal memang bukanlah syariat Islam, tapi merupakan kearifan lokal dalam bidang muamalah. Kegiatan ini merupakan hasil kreativitas bangsa Indonesia, baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya. Halal bihalal bisa dilakukan di mana-mana, mulai dari perkampungan, perkotaan, sekolahan, perkuliahan, bahkan sampai di perkantoran.

Sejarah Halal Bihalal

Konon, kegiatan silaturahmi setelah shalat Idul Fitri mula-mula digelar oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, yang masyhur dijuluki Pangeran Sambernyawa pada sekitar tahun 1770-an.

Untuk menghemat  waktu, tenaga, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.  Kegiatan serupa kemudian diikuti oleh pemimpin Jawa lainnya sebagai tradisi yang dikenal dengan istilah sungkeman, belum bernama halal bihalal (sekarang Open House).

Sedangkan penggagas istilah halal bihalal adalah KH Wahab Chasbullah. Beliau merupakan salah satu perintis organisasi Nahdahtul Ulama (NU) yang biasa dipanggil Kiai Wahab.

Pada pertengahan bulan Ramadhan 1948, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya terkait situasi politik Indonesia yang tidak sehat.

Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi selepas Hari Raya Idul Fitri. Lalu Bung Karno menjawab, "Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain".  "Itu gampang,” kata Kiai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab.

Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang diberi judul halal bihalal dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi bangsa Indonesia pasca-lebaran hingga kini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline