Meskipun sepak bola adalah olahraga yang paling diminati sekaligus olahraga yang paling banyak menerima perhatian dari pemerintah/Kemenpora, kualitas Liga sepak bola di Indonesia masih di bawah standar. Gaji pemain yang ditunggak, suporter klub yang rusuh, dan infrastruktur yang tidak memadai adalah tiga dari sekian masalah yang belum terselesaikan dalam dunia sepak bola Indonesia. Akibatnya, salah satu langkah drastis yang diambil PSSI untuk mengembangkan Timnas Garuda adalah naturalisasi pemain asing keturunan Indonesia seperti Emil Audero, Calvin Verdonk, dan Jay Idzes. Naturalisasi telah menjadi bahan perdebatan di dalam masyarakat, baik itu pemerhati sepak bola maupun masyarakat awam. Ada yang mendukung naturalisasi karena para pemain naturalisasi telah dididik dan tumbuh di lingkungan sepak bola yang lebih layak, namun ada juga yang memandang naturalisasi sebagai proyek instan dan memberi kesan mengabaikan pemain lokal. Diluar baik atau buruknya naturalisasi, PSSI tidak bisa bergantung pada metode memberikan paspor RI kepada pemain keturunan. Jumlah diaspora di Indonesia tidaklah banyak sehingga bukanlah hal yang bijak untuk terlalu bergantung pada sumber yang sedikit. Tetapi pada saat yang sama, mengharapkan kebangkitan Timnas dari upaya memperbaiki liga juga bukanlah solusi yang realistis. Dibutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan segudang masalah liga sepakbola Indonesia, sedangkan usia pemain tidak bisa diulang.
Salah satu yang dilakukan manusia untuk mencapai targetnya adalah dengan meniru pihak yang dinilai berhasil. Di tingkat Asia, Jepang sering dijadikan contoh karena tidak hanya memiliki salah satu liga terbaik di AFC (Asian Football Confederation), banyak pemain Negeri Sakura yang mampu bersaing di Eropa, benua yang saat ini masih dipandang sebagai kiblat sepak bola dunia. Untuk kawasan Asia Tenggara, Thailand adalah negara yang dapat dijadikan teladan karena Changsuek sering mendominasi lawan-lawan mereka di lapangan dan kualitas liga tergolong baik untuk standar Asia Tenggara. Ada satu negara yang bisa menjadi contoh untuk PSSI dalam membangun Timnas Garuda, yakni Senegal. Dalam CAF (Confederation of African Football), liga Senegal kalah jauh dari negara Afrika Selatan yang lain seperti Mesir, Afrika Selatan, dan Maroko. Liga Senegal juga menghadapi masalah yang hampir serupa dengan liga Indonesia, terutama dalam masalah keuangan. Meskipun diliputi banyak kekurangan, Senegal mampu naik menjadi tim yang dominan di Benua Hitam. Di tahun 2022, Senegal berhasil memenangkan piala AFCON pertama mereka.
Ada tiga hal yang menjadi kunci dari kejayaan Timnas Senegal. Pertama, Hampir semua pemain timnas Senegal bermain di luar negeri ketika mereka dipanggil untuk membela Teranga Lions. Tidak sedikit dari pemain Senegal yang pernah atau sedang bermain di klub besar seperti Sadio Mane (Liverpool dan Bayern Munich), Kalidou Koulibaly (Napoli dan Chelsea), atau douard Mendy (Chelsea). Selain kualitas liga yang tidak mendukung perkembangan, ekonomi juga menjadi faktor dari migrasi pesepakbola Senegal ke luar negeri. Perlu diketahui juga bahwa sama seperti kebanyakan negara-negara di Afrika, kemiskinan masih menjadi masalah yang umum di Senegal dan penghasilan dari pemain liga Senegal tidak mampu mencukupi kebutuhan pemain beserta keluarganya.
Kedua, sejak awal tahun 2000-an, akademi-akademi sepak bola telah didirikan, seperti Gnration Foot dan Diambars FC. FSF (PSSI-nya Senegal) mengakui kalau liga Senegal bukanlah liga yang berstandar tinggi. Maka, cara yang ditempuh FSF untuk membangun Teranga Lions adalah mendukung para pemain muda Senegal untuk berkarier di luar negeri. Akademi-akademi sepak bola di Senegal tidak hanya sekadar melatih kemampuan sepak bola. Mereka juga berperan dalam mendidik para pemain muda untuk menjadi profesional dan beberapa akademi menjalin kerja sama dengan klub asing. Gnration Foot, misalnya, telah menjalin kerja sama dengan klub sepak bola Prancis bernama FC Metz selama lebih dari 20 tahun. Maka tidak mengherankan kalau dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemain Senegal yang pernah berseragam FC Metz seperti Sadio Mane, Habib Diallo, dan Pape Matar Sarr.
Ketiga, sama seperti yang dilakukan oleh PSSI saat ini, Senegal juga melakukan naturalisasi pemain-pemain diaspora. Abdou Diallo, Kalidou Koulibaly, dan Iliman Ndiaye adalah contoh dari beberapa pemain Timnas Senegal yang tidak lahir dan tumbuh di Senegal. Proses naturalisasi semakin dipermudah dengan hukum di Senegal yang memberi peluang bagi warga negaranya untuk memiliki kewarganegaraan ganda dan jumlah diaspora yang besar di Eropa (terutama Prancis).
Apa yang telah ditempuh oleh Senegal bisa menjadi acuan, namun juga sulit dilaksanakan bila melihat dari aspek realistis. Pertama, berbicara soal pemain lokal bermain untuk klub asing, kriteria lain yang harus dipenuhi selain kemampuan mengolah bola adalah kekuatan mental. Masalah-masalah seperti homesick dan pergaulan bebas dapat merusak karier pemain. Berkaca dari Senegal, kebanyakan pemain bintang Timnas Senegal seperti Sadio Mane dan Idrissa Gueye, sudah merantau ke Benua Biru sebelum menginjak umur 20 tahun. Lalu soal masalah akademi sepak bola, Indonesia masih mengalami kendala SDM dan dana. Ditambah masalah birokrasi yang lambat, proyek seperti Gnration Foot akan mengalami hambatan. Kembali ke soal naturalisasi, Indonesia tertahan dengan hukum di negara ini yang tidak mengakui sistem dwi kewarganegaraan. Jika PSSI menghendaki proses naturalisasi pemain semudah Senegal dan Maroko, itu memerlukan amandemen undang-undang di pemerintahan seperti yang dilakukan oleh Suriname yang memberlakukan paspor khusus untuk pemain diaspora mereka (pemain Timnas Suriname yang merupakan pemain naturalisasi tidak akan kehilangan kewarganegaraan yang sebelumnya). Satu lagi permasalahan yang menjadi halangan bagi PSSI maupun Kemenpora untuk mengikuti langkah dari FSF adalah banyak klub di Indonesia dimiliki oleh politisi sehingga perhatian kepada liga lokal tidak bisa diabaikan sebab di atas sepakbola, masih ada kebutuhan atas kestabilan politik.
Daftar Referensi:
Andrew, R., & Suryawan, I. N. (2015). Studi Literasi Pengembangan Manajemen Klub Sepak Bola di Indonesia. MODUS. 27 (2), 175-182.
DW Kick Off!. 2022, 11 November. HOW Senegal became Africa's best team | The 2nd Golden Generation {Video}. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=kiQtJULlZHo.
Fall, I., Dankoco, I. S., & Tribou, G. (2022). The financing of the Senegalese Professional Football League: Which Economic Model? International Journal of Current Research and Academic Review, 10 (11), 1-11. https://www.ijcrar.com/10-11-2022/Ibrahima%20Fall,%20et%20al.pdf.