Lihat ke Halaman Asli

Jose Hasibuan

TERVERIFIKASI

Seorang abdi bangsa

Antara "Pejabat" dengan Orang Melayu, Minang dan Tionghoa

Diperbarui: 4 Juni 2020   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

Saya terlahir di tengah keluarga dengan akulturasi dua suku dan budaya yang berbeda. Bapak saya adalah seorang batak bermarga hasibuan, dan ibu saya adalah seorang perempuan jawa. 

Dari perpaduan kedua orang tua saya, lahirlah saya seorang "Pejabat", pemuda jawa batak. Bisa terbayang bagaimana watak saya yang seorang pejabat?

Perbedaan yang ada di tengah keluarga kami adalah hal yang sangat saya syukuri sejak kecil. Saya mengenal dan hidup di antara dua budaya yang sangat berbeda. 

Tak menutup telinga, stereotipe yang terdengar, orang batak itu keras dan orang jawa itu lembut. Namun, kedua orang tua saya telah menjadi role model yang sangat baik tentang bagaimana menghargai perbedaan yang ada dan bagaimana melebur jadi satu.

Bapak saya yang seorang batak, bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa jawa, bahasa yang sebenarnya sangat asing baginya sebelum menikah dengan ibu. Faktor ibu yang sering berbahasa jawa dengan kami anak-anaknya saat di rumah, ditambah tinggal di lingkungan masyarakat yang mayoritas suku jawa, membuat bapak banyak melakukan penyesuaian dalam berbahasa.

Tak hanya soal komunikasi, bapak juga tak canggung mengikuti tradisi jawa yang sering diadakan di tengah masyarakat tempat saya dibesarkan. Ia selalu hadir di acara rewang dan kenduri saat ada tetangga yang mengadakan hajatan. 

Meski tak banyak yang dilakukannya disana, namun kehadiran "Pak Guru", demikian biasanya ia dipanggil, memberi warna dan kesan tersendiri bagi banyak tetangga kami.

Ibu pun melakukan hal yang sama. Terlahir sebagai seorang putri Solo, sesungguhnya berbaur dengan budaya batak yang terkenal keras dan kaku, pastilah butuh effort yang besar. Namun ia dapat menyesuaikan diri dengan amat baik.

Hingga kini, meskipun bapak sudah tiada, namun ibu saya tetap menjunjung tinggi tradisi batak dan menjadikannya sebagai tradisi di keluarga kami. 

Saat saya menikah, juga saat adik perempuan saya menikah, ibu tetap ingin agar upacara pernikahan dilangsungkan dalam rangkaian adat batak, tetapi juga tidak meninggalkan adat jawa sebagai adat leluhurnya. 

Dan sekarang saat ia telah menjadi nenek dari dua orang cucunya, sebutannya adalah "Ompung" bukan "Mbah".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline