Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara "Pejabat" dengan Orang Melayu, Minang dan Tionghoa

3 Juni 2020   17:35 Diperbarui: 4 Juni 2020   09:24 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya terlahir di tengah keluarga dengan akulturasi dua suku dan budaya yang berbeda. Bapak saya adalah seorang batak bermarga hasibuan, dan ibu saya adalah seorang perempuan jawa. 

Dari perpaduan kedua orang tua saya, lahirlah saya seorang "Pejabat", pemuda jawa batak. Bisa terbayang bagaimana watak saya yang seorang pejabat?

Perbedaan yang ada di tengah keluarga kami adalah hal yang sangat saya syukuri sejak kecil. Saya mengenal dan hidup di antara dua budaya yang sangat berbeda. 

Tak menutup telinga, stereotipe yang terdengar, orang batak itu keras dan orang jawa itu lembut. Namun, kedua orang tua saya telah menjadi role model yang sangat baik tentang bagaimana menghargai perbedaan yang ada dan bagaimana melebur jadi satu.

Bapak saya yang seorang batak, bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa jawa, bahasa yang sebenarnya sangat asing baginya sebelum menikah dengan ibu. Faktor ibu yang sering berbahasa jawa dengan kami anak-anaknya saat di rumah, ditambah tinggal di lingkungan masyarakat yang mayoritas suku jawa, membuat bapak banyak melakukan penyesuaian dalam berbahasa.

Tak hanya soal komunikasi, bapak juga tak canggung mengikuti tradisi jawa yang sering diadakan di tengah masyarakat tempat saya dibesarkan. Ia selalu hadir di acara rewang dan kenduri saat ada tetangga yang mengadakan hajatan. 

Meski tak banyak yang dilakukannya disana, namun kehadiran "Pak Guru", demikian biasanya ia dipanggil, memberi warna dan kesan tersendiri bagi banyak tetangga kami.

Ibu pun melakukan hal yang sama. Terlahir sebagai seorang putri Solo, sesungguhnya berbaur dengan budaya batak yang terkenal keras dan kaku, pastilah butuh effort yang besar. Namun ia dapat menyesuaikan diri dengan amat baik.

Hingga kini, meskipun bapak sudah tiada, namun ibu saya tetap menjunjung tinggi tradisi batak dan menjadikannya sebagai tradisi di keluarga kami. 

Saat saya menikah, juga saat adik perempuan saya menikah, ibu tetap ingin agar upacara pernikahan dilangsungkan dalam rangkaian adat batak, tetapi juga tidak meninggalkan adat jawa sebagai adat leluhurnya. 

Dan sekarang saat ia telah menjadi nenek dari dua orang cucunya, sebutannya adalah "Ompung" bukan "Mbah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun