Di awal kedatangannya, Patrick Kluivert dielu-elukan sebagai penyelamat baru sepak bola Indonesia. Reputasinya sebagai legenda Belanda, mantan striker Barcelona, dan jebolan akademi Ajax Amsterdam membuat publik yakin: inilah era baru Garuda. Namun, seiring berjalannya waktu, euforia itu berubah menjadi kekecewaan mendalam.
Kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa nama besar tak menjamin arah permainan yang jelas, apalagi prestasi yang nyata.
Sejak awal, publik sebenarnya sudah meragukan keputusan PSSI mengganti Shin Tae-yong di tengah kompetisi kualifikasi. Pelatih asal Korea Selatan itu telah membangun pondasi disiplin, mental juang, dan struktur permainan yang stabil. Menggantikannya di momen krusial hanyalah keputusan politis, bukan teknis.
Dan benar saja ketakutan itu kini menjadi kenyataan. Di bawah Kluivert, Timnas tampil tanpa arah. Gaya mainnya membingungkan: tak ada identitas permainan, transisi bertahan–menyerang kacau, dan koordinasi antar lini rapuh. Publik sulit menebak, apakah Indonesia bermain dengan filosofi possession football, counter-attack, atau sekadar improvisasi di lapangan.
Salah satu kritik terbesar terhadap Kluivert adalah strategi yang tidak jelas. Dalam beberapa laga, formasi dan pendekatan taktik berubah-ubah tanpa alasan rasional. Kadang 4-3-3, besoknya 3-5-2, lalu kembali ke 4-2-3-1 tanpa memahami kapasitas pemain. Hasilnya, para pemain terlihat bingung, kehilangan koneksi antarlini, dan tidak punya pattern of play yang konsisten.
Yang lebih ironis, pemilihan pemain pun sering kali tidak objektif. Nama-nama yang tampil bagus di liga sering diabaikan, sementara beberapa pemain “favorit” tetap masuk skuad meski performanya menurun drastis. Situasi ini menimbulkan kesan kuat bahwa Timnas bukan lagi meritokrasi, tapi monopoli kepentingan.
Kritik ini bukan sekadar sentimen emosional, tapi refleksi dari kekacauan strategi dan kepemimpinan teknis yang terjadi. Kluivert datang membawa janji “standar Eropa”, tapi yang muncul justru standard error kesalahan sistemik yang membuat publik kehilangan kepercayaan.
Namun yang perlu digarisbawahi: kegagalan ini bukan hanya tanggung jawab Kluivert seorang.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, sebagai pengambil keputusan tertinggi, harus ikut bertanggung jawab atas hasil buruk ini. Ia yang menunjuk Kluivert, ia pula yang mengambil risiko mengganti pelatih di tengah jalan. Maka sudah sewajarnya, publik menuntut pertanggungjawaban moral dan etika jabatan.
Dalam sistem manajemen olahraga profesional, kegagalan besar biasanya diikuti oleh evaluasi menyeluruh bahkan pengunduran diri jika diperlukan. Maka seruan publik agar Patrick Kluivert dan Erick Thohir mundur bukanlah bentuk kebencian, melainkan ekspresi kekecewaan dan tanggung jawab publik terhadap marwah sepak bola nasional.
Kita tak bisa menutup mata bahwa semua ini hanyalah gejala dari penyakit lama sepak bola Indonesia: keputusan instan, ego politik, dan absennya sistem jangka panjang. Dalam Sport Governance Framework (Hoye et al., 2020), disebutkan bahwa tata kelola yang buruk hampir selalu berujung pada kegagalan performa di lapangan. Dan PSSI, sayangnya, kembali membuktikan teori itu dengan sempurna.
Selama federasi tak berubah, selama keputusan teknis diintervensi oleh kepentingan politik, maka siapa pun pelatihnya entah Kluivert, Shin, atau pelatih papan atas lainnya akan bernasib sama.