Lihat ke Halaman Asli

Joni Faisal

Hamba Amatiran

Seperti Cinta Remaja, Pegadaian Dibenci dan Dirindu

Diperbarui: 22 September 2025   07:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keramahan pelayanan dimulai dari depan. Satpam kantor Pegadaian Ciputat, Tangsel (Foto: Joni)

Mengemaskan Indonesia - Tulisan 1

Kalau nanti kau punya anak merantau, selipkanlah emas untuk dia gunakan di kala darurat, bukan uang! - Pesan Ibu

Sudah seperti kekasih. 

Sejak jaman kuliah di Jogja awal tahun 90an, Pegadaianlah yang paling berperan. Setia. Dan cintanya tak pernah luruh. Jujur, akulah yang sering berpaling. Bagiku, Pegadaian sulit untuk dipisahkan. Meskipun aku pernah bersumpah untuk tidak kembali. Berbalik badan. Namun kadang rindu menggugah. Rasa benci tiba-tiba berubah. Di saat-saat  genting. Di kala aku membutuhkannya. 

Sebagai anak perantauan dari Pelembang yang kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, kiriman dari orangtua tak selalu cukup. Apalagi Ayah bergaji pas-pasan. Hidup dengan uang 40 ribu sebulan, di masa itu belum memberikan rasa nyaman. Meskipun itu cukup, kadang mendadak kurang. Apalagi Pak Pos yang selalu ditunggu--yang membawa selembar wesel--telat datang. Kalau hari yang ditunggu-tunggu itu berlalu, alamat makan sekali sehari bisa sampai seminggu! 

Kawan-kawan lain punya cara. Di kala darurat membutuhkan dana, mereka bisa saja melorotkan celana. Membawanya ke Pasar Sentir di belakang Titik Nol Jogja. Menjualnya dengan harga berapa saja. Aku sendiri? Tak pernah mencoba dan tak tega.   

Ini kisah yang tak bisa kulupakan. Membawa cincin titipan ibu ke daerah Ngupasan. Di situ ada kantor pegadaian. Letaknya dekat penjara di ujung jalan. Tepatnya Malioboro bagian Selatan.   

Awalnya, aku segan dan malu. Takut berseliweran kawan-kawan di situ. Namun, gara-gara ada kawan senasib seperti aku. Menggadaikan selembar kain ibunya untuk uang saku. Maluku hilang seperti nyali penghisap candu. Kawan itu ternyata lebih parah dari aku!

Di masa itu, memang kain simpanan boleh digadai. Juga barang-barang antik dan pecah belah pun  tak masalah. Termasuk kebaya. Asal ditaksir ada nilai uangnya.   

Cincin titipan ibu tidak besar. Emas. Itu yang bikin aku tak pernah cemas. Tapi bisa kuandalkan. Untuk hidup selama 2 bulan. Itu pun tidak kugadai dengan nilai maksimal. Aku mengambil uang seperlunya. Sambil menunggu wesel tiba. Andai pun nanti kurang, aku bisa datang lagi minta tambah. Sampai pagu tertinggi nilai taksirannya.

Mengenang Pegadaian Ngupasan seperti mengenang kekasih pertama. Mantan yang tak pernah benar-benar sirna. Belakangan aku baru tahu, Pegadaian Ngupasan bukan hanya sejarahku. Tapi tonggak sejarah aksi buruh. Konon, Tan Malaka dan Bergsman memimpin pemogokan itu. Sampai-sampai Pemerintah Hindia Belanda mengasingkan keduanya ke Eropa. Pemogokan itu  terjadi pada 11 sampai 18  bulan Januari tahun 1922 (sebagaimana ditulis J. Th. Petrus Blumberger dalam buku De Nationalistische Beweging in Nederlandsch -- Indi, Dordrecht Holland / Providence-U.S.A : Foris Publications, 1987).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline