Indonesia tengah mengalami masa transisi yang menguji karakter bangsa.
Di balik hiruk-pikuk pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi, tersembunyi masalah fundamental yang menggerogoti fondasi negara. Tiga dimensi krisis yaitu mental kolektif yang rapuh, sistem hukum yang tidak konsisten, dan degradasi moral pemimpin telah menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.
Mentalitas masyarakat Indonesia kerap menunjukkan kecenderungan reaktif yang berlebihan. Fenomena ledakan ulat bulu beberapa tahun silam memperlihatkan bagaimana informasi yang tidak utuh dapat memicu kepanikan massal. Padahal, siklus kehidupan serangga merupakan proses alamiah yang telah berlangsung jutaan tahun. Reaksi berlebihan ini mencerminkan lemahnya literasi sains dan dominasi emosi atas logika dalam pengambilan keputusan publik.
Pola serupa terlihat dalam dinamika politik nasional. Para penyelenggara negara sering terjebak dalam reaksi sesaat ketimbang merumuskan solusi jangka panjang. Isu substansial seperti kesenjangan ekonomi, degradasi lingkungan, dan ketimpangan akses pendidikan justru tenggelam dalam hiruk-pikuk politik praktis.
Sistem peradilan juga menghadapi tantangan kredibilitas yang serius. Kasus pembangunan pagar laut ilegal di Banten menunjukkan betapa rumitnya penegakan hukum ketika berhadapan dengan kepentingan ekonomi besar. Struktur bambu sepanjang puluhan kilometer telah mengubah ekosistem pantai, namun proses hukumnya berlangsung seperti pertunjukan tanpa akhir. Berbagai institusi penegak hukum memberikan keterangan yang saling bertentangan, sementara dugaan keterlibatan pengembang besar membuat kasus ini semakin pelik.
Situasi ini menciptakan hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat mulai mempertanyakan konsistensi hukum yang seolah tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ketidakpastian hukum seperti ini berpotensi memicu konflik sosial dan merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah krisis keteladanan di kalangan elite politik. Sumpah jabatan yang seharusnya menjadi komitmen sakral kini diperlakukan sebagai formalitas kosong. Para wakil rakyat yang berjanji memperjuangkan kepentingan publik justru kerap terlibat dalam praktik yang merugikan rakyat. Figur pemimpin yang menjadi panutan moral semakin langka, berbeda dengan era sebelumnya yang memiliki tokoh dengan integritas tinggi seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, dan Abdurrahman Wahid.
Degradasi moral ini berdampak sistemik pada seluruh aspek kehidupan berbangsa. Ketika pemimpin kehilangan kredibilitas moral, rakyat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik secara keseluruhan. Hal ini menciptakan siklus negatif di mana partisipasi publik menurun, pengawasan melemah, dan ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan semakin terbuka lebar.
Reformasi 1998 pernah mengusung enam agenda besar perubahan, namun hingga kini pencapaiannya masih setengah hati. Korupsi masih mengakar kuat, supremasi hukum belum terwujud sepenuhnya, dan kualitas demokrasi masih jauh dari harapan. Ironisnya, dua puluh lima tahun pasca reformasi, sebagian generasi muda justru mulai meragukan relevansi nilai demokrasi dan mulai tergiur dengan narasi otoritarianisme yang dikemas dalam kemasan populisme.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa perubahan struktural saja tidak cukup tanpa disertai transformasi mental dan moral. Reformasi institusi harus dibarengi dengan reformasi karakter bangsa yang melibatkan semua lapisan masyarakat.