Subuh itu berbeda.
Ia datang tanpa hiruk-pikuk, menjemput dalam diam, dan sering kali menyapa mereka yang sedang karam dalam rasa putus asa. Di waktu ketika dunia masih tertidur, ada jiwa-jiwa yang duduk terpaku, memandangi langit, merenungi reruntuhan hidupnya... dan bertanya dalam hati: "Apakah ini akhir segalanya?"
Kegagalan sering dianggap akhir.
Ketika bisnis bangkrut, hubungan retak, atau harapan tak menjadi nyata... kita merasa dunia runtuh. Malam hari biasanya penuh air mata. Tapi pagi? Justru sepi. Dan di sepinya subuh, kita mulai mendengar hal-hal yang sebelumnya tenggelam oleh kebisingan: suara nurani, panggilan langit, bisikan rahmat.
Banyak yang tak tahu, kegagalan besar sering kali adalah rahmat tersembunyi.
Bukan karena kegagalan itu enak. Tapi karena saat semua runtuh, ego pun ikut runtuh. Kita tak lagi bersandar pada rencana dan kekuatan sendiri. Kita menengadah. Kita bersujud. Kita kembali.
Kesalahan umum manusia adalah terlalu lama menggenggam.
Menggenggam dunia, menggenggam ekspektasi, menggenggam orang-orang yang ternyata bukan bagian dari takdir. Maka saat Allah merenggut semuanya, kita merasa dikhianati... padahal bisa jadi itu bentuk paling lembut dari cinta-Nya: membebaskan kita dari belenggu yang kita sendiri tak sadari.
Bangkit di waktu subuh adalah tanda bahwa kita masih diberi kesempatan.
Masih ada nyawa. Masih ada waktu. Masih ada skenario yang belum dibuka. Maka siapa kita untuk menyerah ketika Allah sendiri masih memberi fajar baru?
Ilmu psikologi menyebut momen ini sebagai turning point.
Di titik nadir, seseorang bisa memilih antara hancur... atau bertumbuh. Spiritualitas memberi pelengkap: turning point itu bukan sekadar bangkit, tapi juga menemukan arah baru... yang kadang justru tak pernah kita rencanakan.
Pertolongan pertama? Bukan motivasi... tapi sujud.
Lemahkan diri di hadapan Yang Maha Kuat. Curhat tanpa sensor, menangis sepuasnya. Lalu diam. Dengarkan. Kadang, petunjuk bukan datang lewat petir, tapi lewat ketenangan setelah doa.
Pencegahannya? Jangan terlalu menggantungkan diri pada hasil.
Gantungkan usaha kita, tapi biarkan hasil jadi rahasia Tuhan. Kita hanya diminta untuk jalan, bukan menentukan tujuan akhir.
Saya sendiri pernah di titik itu.
Saat semua proyek gagal, saldo nol, keluarga sakit, dan teman menjauh. Tapi entah kenapa, di satu subuh yang dingin dan sunyi, saya hanya ingin shalat... bukan demi solusi, tapi karena tak ada tempat lain untuk bersandar. Dan di situlah, jalan-jalan baru terbuka... perlahan, tapi pasti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI